MAKLUMAT — Irma Amelia, seorang mahasiswi Kristen yang tak ragu menempuh studi di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), mengisahkan perjalanannya di tengah kampus Islam dengan nada penuh pengharapan dan syukur.
Sosok Irma adalah potret kebhinekaan yang hidup dan bernapas di tanah air, yang tak sekadar menyuarakan persatuan, tetapi juga menjalaninya—terus merenda pengalaman yang melampaui sekat-sekat identitas.
UMJ mewisuda Irma Amelia bersama 1.572 mahasiswa lainnya di Auditorium KH Ahmad Azhar Basyir, Gedung Cendekia, UMJ, pada 25 Oktober 2024 lalu.
Ketika Irma memutuskan masuk Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) di UMJ, pilihannya jauh dari kebimbangan. Rumah Sakit Mitra Keluarga Kemayoran, tempatnya bekerja, sebenarnya menyediakan STIKes untuk stafnya.
Namun, UMJ yang dekat dengan lokasinya menariknya untuk menjadi bagian dari kampus bernaung Muhammadiyah itu. Selain praktis, UMJ adalah salah satu Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PTMA) dengan akreditasi unggul, yang juga menggaet profesional dari rumah sakit besar di Jakarta seperti RSCM dan RS Koja.
“Saya ingin memperluas jejaring,mendapatkan pengalaman baru dari rekan sejawat di berbagai rumah sakit,” kata Irma dikutip dari laman Muhammadiyah.
Mata Kuliah Al-Islam-Kemuhammadiyahan
Langkahnya ke dalam dunia akademis di UMJ sebenarnya bukan tanpa keraguan di awal. Namun, kisah inspiratif dari para senior di rumah sakit yang notabene adalah lulusan UMJ, menggugurkan semua itu.
Mulai dari kepala ruangan hingga manajer, banyak dari mereka lulusan UMJ dan dengan hangat meyakinkannya bahwa di sana tak ada diskriminasi. “Mereka benar,” ujar Irma.
Dari hari ke hari, ia merasakan kehangatan yang luar biasa dari lingkungan kampus. Sebagai mahasiswa Kristen, Irma menyadari bahwa ia merupakan minoritas di kampus Islam ini. Namun, justru karena perbedaan itu, tumbuh rasa empati dan kepedulian.
Dalam mata kuliah Al-Islam-Kemuhammadiyahan (AIK), kampus memberi Irma keringanan yang berkesan—mereka mengizinkannya menggantikan kehadiran dengan menyerahkan surat keterangan aktif di gereja, yang kemudian diakui sebagai nilai mata kuliah AIK.
Ini bukan sekadar kelonggaran, melainkan simbol dari keberterimaan yang UMJ tawarkan kepada siapa pun, tanpa memandang latar belakang agama.
Irma berjumpa dengan teman-teman Muslim yang memperlakukannya tanpa prasangka. Teman-teman yang membuka wawasan dan melampaui batas identitas personal. “Tak ada diskriminasi di sini,” ucapnya dengan mantap.
Nilai Toleransi
Lingkungan kampus Muhammadiyah tertua di Indonesia ini mengajarkan pelajaran berharga tentang nilai toleransi. Mereka menghidupkan nilai itu dalam setiap langkah kecil sehari-hari, baik di ruang kelas maupun dalam interaksi sederhana.
Di UMJ, Irma menemukan ruang yang mengayomi, sebuah kampus yang memang bukan sekadar mencetak akademisi, melainkan membentuk manusia yang lebih bijak dalam perbedaan.
Perjalanan Irma di UMJ tak sekadar menunjukkan keberanian seorang Kristen di kampus Islam. Tetapi juga memupuk harapan bahwa keberagaman bisa menjadi kekuatan nyata, bukan sekadar slogan di dalam konstitusi.
Irma menyimpan kisah ini sebagai pelajaran hidup yang tak ternilai—sebuah pengalaman yang memampukannya merasakan persatuan dalam kebhinekaan di kampus tercinta.