DIREKTORAT Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (PKRL KKP), Ahmad Aris angkat bicara merespon temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terkait dugaan jual-beli 200 pulau kecil di Indonesia.
Menurut Aris, informasi tersebut harus diusut lebih lanjut. Sebab, jual-beli pulau-pulau kecil jelas melanggar undang-undang (UU).
“Dapat kami sampaikan secara regulasi bahwa pulau tidak dapat diperjualbelikan, karena pada setiap pulau terdapat penguasaan oleh negara minimal 30 persen dari luasan pulau-pulau kecil. Tidak ada regulasi di Indonesia yang membolehkan jual beli pulau karena satu pulau tak boleh dikuasai penuh, dimana ada 30 persen tanah yang dikuasai negara,” kata dia.
Aris menjelaskan, jika ada informasi terkait penjualan pulau, maka perlu dilakukan peneguran kepada mereka. Sedangkan jika jual beli aset, itu masih dimungkinkan.
Hal itu, kata dia, diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 34/2019 tentang Pengalihan Saham dan Luasan Lahan Dalam Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/2024 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya.
Selain itu, hal tersebut juga sejalan dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 17/2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Aris menegaskan, pulau-pulau kecil tidak dapat diperjualbelikan. “Yang dapat diperjualbelikan adalah sebagian bidang tanah di atas pulau tersebut. Syaratnya, bidang tanah yang dapat diperjualbelikan telah dikuasai secara fisik (de facto) dan memiliki sertifikat hak atas tanah (de jure),” jelasnya.
Sesuai UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, permasalahan kepemilikan lahan baik di daratan dan di pulau kecil, dibolehkan atas warga negara Indonesia. Namun tidak ada dan tidak dibolehkan adanya privatisasi terhadap pulau kecil, karena minimal 30 persen dikuasai negara.
“Sedangkan untuk orang asing tidak dapat memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia, termasuk di tanah atau lahan di pulau-pulau kecil,” terang Aris.
Terkait pemanfaatan lahan oleh orang asing, lanjut Aris, Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) hanya dapat diberikan kepada badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia.
“Salah satu mekanismenya adalah melalui Penanaman Modal Asing (PMA) sesuai peraturan perundang-undangan. Terkait dengan pemanfaatan atau investasi di pulau-pulau kecil, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, khusus dalam pemberian HGU, HGB atau Hak Pakai atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau yang berbatasan dengan pantai diatur tersendiri,” paparnya.
Sementara itu, Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 10/2024 memberikan batasan atas luas pemanfaatan lahan di pulau-pulau kecil. Yakni, minimal 30 persen dari luas pulau yang dikuasai langsung oleh negara (untuk fungsi lindung, akses publik, dan kepentingan umum lainnya). Serta dapat dimanfaatkan paling banyak 70 persen dari luas pulau.
“Dari 70 persen yang dapat dimanfaatkan, pelaku usaha wajib mengalokasikan untuk ruang terbuka hijau. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengalihan Saham dan Luasan Lahan dalam Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Pemanfaatan Perairan di Sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing,” beber Aris.
Aris juga menyinggung soal jual-beli pulau-pulau yang ditawarkan melalui media sosial (medsos), yang kemungkinan terdapat kekeliruan pemahaman. Atau hanya sekedar strategi mencari investor. Namun perlu sosialisasi dan pemahaman yang benar kepada publik.
“Pemerintah tentunya merespons baik semakin banyaknya investasi yang ramah lingkungan di pulau-pulau kecil, karena akan meningkatkan devisa dan meningkatkan ekonomi sekitar,” pungkas Aris.
Reporter: Ubay NA