Kontroversi Fatwa Natal Bersama MUI 1981: Mengapa Buya Hamka Memilih Mundur dari MUI?

Kontroversi Fatwa Natal Bersama MUI 1981: Mengapa Buya Hamka Memilih Mundur dari MUI?

MAKLUMAT — Tahun 1981—bukan semata 1986—menjadi salah satu fase paling pelik dalam perjalanan intelektual dan keulamaan Allahuyarham Prof. Dr. KH. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka). Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, Buya Hamka dihadapkan pada keputusan berat: mempertahankan integritas fatwa ulama atau mengikuti tekanan politik pemerintah.

Sebagai representasi umat Islam Indonesia, Hamka memilih jalan sunyi. Ia meletakkan jabatannya sebagai Ketua Umum MUI demi menolak desakan pemerintah agar mencabut Fatwa Larangan Perayaan Natal Bersama, meskipun secara administratif ia menarik peredaran fatwa tersebut. Keputusan ini kerap disalahpahami hingga kini, termasuk anggapan bahwa Buya Hamka melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal.

Padahal, jika ditelusuri secara jernih, konteks dan maksud fatwa tersebut jauh lebih kompleks dan berakar pada keprihatinan akidah serta etika kerukunan beragama.

Latar Historis: Koinsidensi 1968

Penetapan fatwa haramnya Perayaan Natal Bersama bagi umat Islam oleh Komisi Fatwa MUI pada 1 Jumadil Awal 1401 H/7 Maret 1981 tidak lahir dalam ruang hampa. Fatwa ini dilatarbelakangi oleh peristiwa koinsidensi pada tahun 1968.

Sejarawan Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) mencatat bahwa pada tahun tersebut, Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Natal jatuh berdekatan, yakni pada 1–2 Januari dan 21–22 Desember. Kondisi ini mendorong sejumlah instansi pemerintah menyelenggarakan perayaan Idulfitri dan Natal secara serempak.

Penggabungan tersebut melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai semacam “parade doa” lintas agama. Bahkan, praktik ini terus berlanjut dalam upacara hari-hari besar nasional. Kecaman pun muncul dari berbagai pihak, termasuk Ikatan Sarjana Muhammadiyah yang lebih dahulu menyuarakan keberatan melalui keputusan rapat pada 15 Desember 1968.

Baca Juga  Antara DPD RI dan Mosi Integral Natsir

Umar Hasyim dalam Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam (1978) mencatat kritik tajam atas praktik tersebut:

“Karena acaranya adalah Idul Fitri dan Natalan, maka setelah dibuka lalu dibacakan ayat-ayat suci Alquran, lalu dibacakan pula kitab Injil oleh sang pendeta. Setelah diuraikan arti halalbihalal dan dijelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, maka berdiri pulalah sang pendeta menguraikan bahwa Nabi Isa adalah anak Tuhan. Alangkah kontrasnya dan paradoksnya dua uraian yang dibawa seorang mubalig dan sang pendeta di dalam gedung saat itu.”

Awal Polemik Fatwa

Menurut Jan S. Aritonang, Buya Hamka mengkritik fenomena “Lebaran–Natal” tersebut sebagai praktik sinkretik yang tidak hanya membingungkan, tetapi juga memaksa umat dari dua agama berbeda berada dalam situasi yang tidak sejalan dengan keyakinan masing-masing.

Polemik kian memanas ketika MUI—yang pendiriannya sarat dengan nuansa politik Orde Baru—justru berani menolak permintaan pemerintah untuk mencabut fatwa. Padahal, salah satu fungsi MUI saat dibentuk adalah menjadi mediator antara ulama dan pemerintah dalam menerjemahkan kebijakan pembangunan nasional.

Buya Hamka sendiri dilantik sebagai Ketua Umum MUI pertama pada 27 Juli 1975, dan sejak awal menempatkan MUI sebagai institusi moral umat, bukan sekadar perpanjangan tangan kekuasaan.

Fatwa sebagai Kritik atas “Perayaan Doa”

Kritik terhadap praktik “perayaan doa” lintas agama yang bermula sejak 1968 terus berlanjut hingga MUI berdiri. Di media televisi, misalnya, kerap ditampilkan pejabat Muslim yang ikut menyalakan lilin dan menyanyikan lagu Natal dalam perayaan bersama.

Penolakan MUI juga didasari fakta bahwa perayaan Natal yang semula terbatas bagi umat Katolik dan Protestan, berkembang menjadi acara yang melibatkan pemeluk agama lain dalam kepanitiaan maupun pelaksanaannya.

Padahal, dalam panduan Dinas Pembinaan Mental TNI AD November 1980 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Besar Keagamaan, ditegaskan bahwa bagi umat Kristen Protestan, penyalaan lilin, pujian, dan nyanyian paduan suara merupakan bagian dari ibadah.

Baca Juga  Jadi yang Terdepan Tanpa Berebut Jadi yang di Depan

Atas dasar kehati-hatian akidah, Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981 mengeluarkan fatwa tentang haramnya umat Islam mengikuti Perayaan Natal Bersama karena termasuk perkara syubhat.

Menghadiri Undangan Boleh, Mengikuti Ritual Tidak

Fatwa tersebut ditandatangani Ketua Komisi Fatwa MUI K.H.M. Syukri Ghozali dan Sekretaris Drs. H. Masudi. Salah satu pimpinan MUI, K.H. Hasan Basri, menegaskan bahwa fatwa ini justru dimaksudkan untuk menjaga kerukunan hidup beragama sekaligus memurnikan akidah masing-masing pemeluk agama.

Masalah muncul ketika fatwa yang sejatinya bersifat internal itu “bocor” ke publik setelah dimuat dalam Buletin Majelis Ulama No. 3/April 1981. Dari 300 eksemplar internal, buletin tersebut beredar luas dan dikutip media, termasuk Harian Pelita pada 5 Mei 1981.

Sehari setelahnya, terbit Surat Keputusan tertanggal 30 April 1981 yang ditandatangani Buya Hamka dan Sekretaris Umum MUI H. Burhani Tjokrohandoko, berisi penarikan peredaran fatwa disertai klarifikasi.

Dalam SK itu ditegaskan bahwa menghadiri acara antaragama diperbolehkan sepanjang bersifat seremonial dan bukan ritual ibadah seperti misa atau kebaktian. Umat Islam boleh hadir semata-mata untuk menghormati undangan, bukan untuk mengikuti peribadatan.

Tanggung Jawab Moral Buya Hamka

Fatwa tersebut mendapat reaksi keras dari Menteri Agama saat itu, Letjen TNI (Purn) H. Alamsjah Ratu Prawiranegara, karena dianggap mengganggu program pembinaan kerukunan umat beragama pemerintah.

Dalam pertemuan di Departemen Agama pada 23 April 1981, Alamsjah bahkan menyatakan kesiapannya mundur. Namun Buya Hamka justru mengambil tanggung jawab penuh.

“Tidak tepat kalau saudara Menteri yang harus berhenti… Sayalah yang bertanggung jawab atas beredarnya fatwa tersebut. Jadi sayalah yang mesti berhenti.”

Pada 18 Mei 1981, Buya Hamka resmi meletakkan jabatannya sebagai Ketua Umum MUI.

Baca Juga  Fatwa MUI tentang Perayaan Natal: Enam Landasan Al-Qur’an bagi Umat Islam

Fatwa Ditarik, Nilainya Tetap Sah

Dalam Panji Masyarakat (20 Mei 1981), Buya Hamka mengakui adanya kesalahpahaman antara MUI dan Menteri Agama. Kepada Tempo, ia mengungkapkan kegundahan batinnya:

“Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya… Alangkah bobroknya saya ini, bukan?”

Namun Hamka menegaskan bahwa penarikan peredaran fatwa tidak mengurangi keabsahan substansinya. Fatwa tersebut disusun oleh para ulama dari berbagai ormas Islam nasional, termasuk Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, SI, dan Majelis Dakwah Islam Golkar.

Pemerintah kemudian menggelar Pertemuan Lengkap Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama pada 25 Agustus 1981, yang melahirkan kesepakatan: perayaan hari besar keagamaan pada dasarnya dihadiri pemeluk agama masing-masing, sementara pemeluk agama lain boleh menghormati sepanjang tidak bertentangan dengan keyakinannya.

Buya Hamka dan Ucapan Selamat Natal

Penting ditegaskan, Buya Hamka tidak pernah melarang pengucapan selamat Natal. Hal ini ditegaskan putranya, Irfan Hamka, dalam wawancara Republika (23 Desember 2014).

Menurut Irfan, fatwa MUI 1981 bukanlah larangan mengucapkan selamat Natal, melainkan larangan mengikuti perayaan Natal bersama yang bersifat ritual. Bahkan, Buya Hamka sendiri pernah mengucapkan selamat Natal kepada tetangganya yang Kristiani di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Keteladanan serupa ditunjukkan tokoh Muhammadiyah sekaligus pahlawan nasional, Mohammad Roem. Djohan Effendi dalam Merayakan Kebebasan Beragama (2009) mencatat persahabatan tulus Roem dengan tokoh Katolik dan Protestan, yang saling berkunjung pada hari raya masing-masing.

Di sinilah letak pesan utama Buya Hamka: keteguhan akidah tidak bertentangan dengan keluhuran akhlak dan penghormatan antarumat beragama.

*) Artikel ini sudah dipublikasikan laman Muhammadiyah

*) Penulis: Afandi
Medkom Muhammadiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *