MAKLUMAT — Sebanyak 57 anak-anak Palestina dilaporkan meninggal dunia akibat dampak kekurangan gizi sejak blokade bantuan dimulai pada 2 Maret 2025. Angka tersebut menurut Kementerian Kesehatan Gaza, kemungkinan besar masih di bawah kenyataan yang terjadi dan diperkirakan akan terus bertambah. Jika situasi ini tidak segera berubah, hampir 71.000 anak di bawah usia lima tahun berisiko mengalami kekurangan gizi akut selama sebelas bulan ke depan, sebagaimana dipaparkan dalam laporan Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC) dikutip pada Rabu (14/5/2025).
Risiko kelaparan di Gaza terus meningkat karena penahanan bantuan kemanusiaan yang disengaja, termasuk makanan dan obat-obatan penting. Seluruh populasi Gaza, yang berjumlah 2,1 juta jiwa, kini menghadapi krisis kekurangan pangan berkepanjangan. Dari jumlah itu, hampir setengah juta orang berada dalam kondisi bencana kelaparan—menghadapi kekurangan gizi akut, kelaparan, penyakit, dan kematian.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut situasi ini sebagai salah satu krisis kelaparan terburuk di dunia yang terjadi secara langsung. Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyatakan bahwa masyarakat Gaza sudah kelaparan, sakit, dan sekarat, sementara makanan dan obat-obatan hanya berjarak beberapa menit dari perbatasan. “Laporan hari ini menunjukkan bahwa tanpa akses langsung ke makanan dan pasokan penting, situasi akan terus memburuk, menyebabkan lebih banyak kematian dan bencana kelaparan,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Data IPC mengungkap bahwa tiga perempat penduduk Gaza kini berada dalam fase “Darurat” atau “Bencana” pangan, dua tingkat tertinggi dalam skala lima level kerawanan pangan IPC.
Israel Blokade Bantuan
Blokade yang menghambat distribusi bantuan juga menciptakan lingkaran setan mematikan: kekurangan gizi melemahkan tubuh dan sistem imun, memperparah penyakit umum seperti diare, pneumonia, dan campak—terutama pada anak-anak. Di sisi lain, penyakit tersebut meningkatkan kebutuhan gizi tubuh, namun asupan dan penyerapannya menurun drastis. Kondisi ini memperburuk kekurangan gizi dan meningkatkan risiko kematian.
Perempuan hamil dan menyusui juga sangat rentan. WHO memperkirakan hampir 17.000 orang dalam kelompok ini akan membutuhkan perawatan kekurangan gizi akut selama sebelas bulan ke depan. Kekurangan nutrisi pada ibu juga berdampak langsung pada bayi yang mengandalkan ASI sebagai perlindungan utama terhadap rasa lapar dan penyakit. Dampak jangka panjang kekurangan gizi di Gaza dapat berujung pada pertumbuhan terhambat, gangguan perkembangan kognitif, dan kesehatan yang buruk seumur hidup bagi generasi muda Palestina.
Meskipun otoritas Israel mengumumkan rencana untuk mengirimkan makanan dan barang penting lainnya ke Gaza, WHO menilai upaya itu sangat tidak memadai. WHO dan PBB menyerukan agar akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan segera diberikan, sesuai prinsip kemanusiaan, netralitas, dan ketidakberpihakan.
Stok WHO yang masih tersedia di Gaza hanya cukup untuk merawat 500 anak-anak dengan malnutrisi akut—jumlah yang sangat jauh dari kebutuhan. Sementara itu, obat-obatan penting untuk mengobati penyakit dan luka trauma hampir habis dan tidak dapat diisi ulang karena blokade.
WHO kembali menyerukan penghentian segera blokade bantuan, perlindungan layanan kesehatan, dan gencatan senjata demi keselamatan warga sipil. Bantuan kemanusiaan dari WHO dan mitranya sudah siap di luar Gaza, namun terhambat untuk masuk karena pembatasan akses yang ketat. “Orang-orang sedang sekarat, sementara pasokan medis yang menyelamatkan nyawa berada hanya beberapa kilometer dari mereka,” tegas WHO.
Krisis ini bukan sekadar soal makanan atau obat-obatan. Ini soal hak atas kehidupan, kesehatan, dan martabat manusia yang kini direnggut dari jutaan orang Palestina—terutama anak-anak.***