MAKLUMAT – Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jawa Timur, penemuan kasus HIV tercatat 10.671 kasus pada 2023, turun menjadi 10.556 kasus pada 2024, dan kembali menurun menjadi 8.962 kasus hingga Oktober 2025. Namun demikian, angka tersebut tidak boleh hanya dibaca sebagai capaian administratif semata.
Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Indri Yulia Mariska memberikan catatan kritis terhadap kinerja penanganan HIV-AIDS di Jawa Timur. Fakta masih ditemukannya 75 kasus HIV pada anak hingga Oktober 2025 dinilai sebagai sinyal kuat bahwa sistem pencegahan belum sepenuhnya optimal.
Meski tren penemuan kasus menunjukkan penurunan, fakta masih ditemukannya 75 kasus HIV pada anak hingga Oktober 2025 dinilai sebagai sinyal kuat bahwa sistem pencegahan belum sepenuhnya optimal.
“Penemuan kasus adalah indikator kinerja, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana sistem mampu mencegah kasus baru muncul, terutama pada kelompok paling rentan seperti anak dan remaja,” ujar, Indri, Sabt (13/12/2025).
Perempuan yang juga anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim ini menilai, tingginya kasus HIV di sejumlah daerah seperti Surabaya (983 kasus), Jember (632), dan Sidoarjo (549) menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap strategi pencegahan berbasis wilayah.
Menurut Indri, Dinkes Jatim tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan kuratif dan pelaporan, melainkan harus lebih agresif dalam edukasi, skrining, dan pendampingan.
“Wilayah dengan angka tinggi harus diperlakukan sebagai prioritas khusus, bukan sekadar data tahunan. Harus ada intervensi yang terukur, berkelanjutan, dan dievaluasi secara berkala,” katanya.
Sorotan khusus disampaikan terkait kasus HIV pada anak yang mayoritas disebabkan oleh penularan dari ibu yang tidak menjalani pengobatan.
Kondisi ini, menurut Indri, menandakan bahwa layanan penapisan HIV pada ibu hamil melalui antenatal care (ANC) belum berjalan merata dan konsisten.
“Jika ANC berjalan optimal, seharusnya hampir tidak ada bayi yang lahir dengan HIV. Artinya, Dinkes Jatim perlu memastikan skrining HIV menjadi standar wajib dan benar-benar diawasi di seluruh fasilitas kesehatan,” ujarnya.
Selain itu, Indri juga menyoroti kelompok remaja usia 15–19 tahun yang meski mengalami penurunan kasus pada 2025, masih mencatat ratusan kasus baru. Ia menilai edukasi kesehatan reproduksi dan pencegahan HIV masih belum menyentuh akar persoalan.
“Program sosialisasi jangan bersifat seremonial. Harus ada pendekatan yang relevan dengan dunia remaja, melibatkan sekolah, keluarga, dan komunitas, serta memanfaatkan media digital secara serius,” tegasnya.
Pihaknya, mendorong Dinkes Jatim untuk memperkuat koordinasi lintas sektor, meningkatkan kualitas pendampingan ODHIV, serta memastikan kesinambungan pengobatan agar tidak terjadi putus obat yang berisiko mempercepat penularan.
“Kami tidak sedang mencari kesalahan, tetapi mendorong perbaikan. Target eliminasi HIV-AIDS 2030 hanya bisa tercapai jika Dinkes Jatim berani melakukan evaluasi internal, memperbaiki pola kerja, dan menjadikan perlindungan anak sebagai prioritas utama,” pungkasnya.