MAKLUMAT — Sekitar 80 persen limbah cair industri dan rumah tangga di dunia dibuang langsung ke lingkungan tanpa melalui proses pengolahan. Fakta ini menjadi sorotan Guru Besar Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof. Yatim Lailun Ni’mah, M.Si., Ph.D., dalam orasi ilmiahnya bertajuk Penanganan Limbah Berbahaya Menggunakan Olahan Limbah.
“Di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 80% dari limbah cair industri dan rumah tangga dibuang ke lingkungan tanpa proses pengolahan terlebih dahulu, sehingga berdampak negatif pada kesehatan manusia dan ekosistem,” ujarnya pada pengukuhan profesor di Graha Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo, Kamis (14/8/2025).
Prof. Yatim menjelaskan bahwa peningkatan volume limbah berbahaya menjadi isu mendesak dalam beberapa dekade terakhir. Penyebabnya antara lain meningkatnya aktivitas industri, urbanisasi di berbagai wilayah, dan pola konsumsi masyarakat. Ia membagi limbah ke dalam dua kategori utama: organik dan anorganik.
“Limbah organik seperti sisa makanan, dedaunan, dan limbah pertanian cenderung mudah terurai, sedangkan limbah anorganik seperti logam berat timbal (Pb), kadmium (Cd), kromium (Cr), zat warna, plastik, dan bahan kimia industri membutuhkan waktu sangat lama untuk terurai sehingga berpotensi mencemari lingkungan,” ujarnya.
Limbah anorganik, lanjutnya, termasuk kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) karena bersifat toksik, tidak terurai di alam, dan dapat menimbulkan dampak jangka panjang bagi kesehatan manusia seperti mual, muntah, diare, kerusakan ginjal, gangguan saraf, hingga gangguan pertumbuhan tulang.
Sejumlah metode penanganan limbah telah dikembangkan, mulai dari biodegradasi, koagulasi-flokulasi, reverse osmosis, hingga adsorpsi. Masing-masing metode memiliki keunggulan dan keterbatasan. Namun, Prof. Yatim menilai ada peluang besar dalam pemanfaatan limbah itu sendiri sebagai bahan adsorben.
“Hal yang baru dari pendekatan ini adalah dampak berganda: mengatasi tantangan pengelolaan limbah dan menyediakan solusi yang hemat biaya dan terukur untuk pengolahan air, sehingga mendorong perlindungan lingkungan dan pemerataan sosial ekonomi,” paparnya.
Ia menjelaskan, berbeda dari adsorben konvensional yang bergantung pada sumber daya tak terbarukan, pendekatan ini mengubah residu pertanian, produk sampingan industri, dan aliran limbah lain menjadi material berkinerja tinggi. Sistem ini membentuk siklus tertutup yang sekaligus memitigasi polusi dan mengurangi produksi limbah baru.
Dalam penelitiannya, limbah organik seperti kulit manggis, daun, dan sekam jagung diolah menjadi karbon aktif. Sementara itu, limbah anorganik seperti botol kaca kimia, abu terbang, dan abu sekam padi dapat diubah menjadi gel silika. Proses pembuatan gel silika dilakukan melalui metode alkali fusi dengan penambahan NaOH untuk membentuk natrium silikat, kemudian dilanjutkan dengan metode sol-gel.
“Dengan cara ini, limbah yang dapat merusak lingkungan diubah menjadi komponen berguna untuk meningkatkan efisiensi teknologi adsorpsi serta mengurangi pencemaran akibat limbah yang tidak diolah,” ujarnya.
Ia menekankan, pemanfaatan limbah berbahaya untuk mengolah limbah beracun merupakan perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungan. Teknologi ini relevan di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, krisis air bersih, dan degradasi lingkungan, serta selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
“Jika dikelola dengan baik, teknologi ini tidak hanya memperbaiki kualitas lingkungan, tetapi juga memperkuat kemandirian energi, air, dan sumber daya material nasional yang merupakan elemen penting dalam membangun kedaulatan lingkungan dan ekonomi bangsa di masa depan,” tandasnya.