MAKLUMAT — Tepat 80 tahun silam, pada 29 April 1945, Jepang membentuk sebuah badan bernama Dokuritsu Junbi Chōsakai atau yang lebih dikenal dengan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini menjadi titik mula penting dalam upaya sistematis menuju kemerdekaan bangsa. Terdiri dari 62 orang anggota — meski sejumlah sumber menyebut hingga 78 nama — BPUPKI merupakan representasi dari beragam latar belakang perjuangan.

Tujuannya jelas: menyiapkan fondasi kemerdekaan Indonesia. Dalam perjalanannya, BPUPKI menggelar dua sidang penting. Sidang pertama, yang berlangsung dari 29 Mei hingga 1 Juni 1945, menjadi medan lahirnya gagasan dasar negara. Sementara sidang kedua, yang digelar pada 10–17 Juli 1945, memfokuskan diri pada rancangan Undang-Undang Dasar.
Yang menarik, di tengah dinamika sidang-sidang itu, terdapat kontribusi kader-kader Muhammadiyah yang membawa semangat tajdid—pembaruan pemikiran Islam—ke dalam perumusan dasar negara.
Mereka tak sekadar hadir, tetapi juga ikut menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang moderat dan visioner. Siapa saja para tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam BPUPKI? Berikut penelusurannya.
- Agus Salim (1884-1954)
Diplomat yang fasih berbicara dalam berbagai bahasa ini memiliki julukan The Grand Old Man. Pria kelahiran Bukittinggi itu juga dikenal sebagai dikenal sebagai seorang ulama, aktivis, jurnalis, dan tokoh intelektual yang sangat berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Ia merupakan Ketua Sarekat Islam (SI) setelah HOS Tjokroaminoto. Menjelang proklamasi kemerdekaan, Agus Salim bergabung dalam BPUPKI dan menjadi anggota Panitia Sembilan. Setelah kemerdekaan, ia aktif dalam bidang diplomasi dengan menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.
Agus Salim merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam perjuangan untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan Indonesia dari negara-negara Timur Tengah. Diplomat berwibawa dengan jenggot khas ini dikenal sebagai anggota Muhammadiyah.
Pada masa kepemimpinan KH Ahmad Dahlan, Agus Salim mengajukan usulan dalam sebuah forum agar Muhammadiyah bertransformasi menjadi sebuah partai politik. Meski demikian, usulan tersebut ditolak oleh KH Ahmad Dahlan.
- Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954)
Pria yang lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta ini adalah Ketua PB Muhammadiyah pada tahun 1942 hingga 1953. Selain perannya di Muhammadiyah, Ki Bagus juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tercatat sebagai anggota BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia bahkan menjadi salah satu figur kunci dalam perumusan dasar negara.
Salah satu kontribusi terbesar Ki Bagus dalam sejarah Indonesia adalah peranannya dalam meletakkan dasar-dasar yang terkandung dalam Mukaddimah atau Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian tercermin dalam Pancasila. Ki Bagus juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki kecenderungan kuat terhadap pelembagaan Islam.
Ia juga adalah pencetus disusunnya Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM). Dalam dokumen ini, terdapat pemikiran yang menggali dan menyistematisasi konsep-konsep ideologi yang berakar dari pemikiran KH Ahmad Dahlan.
- KH Mas Mansoer (1896-1946)
Mas Mansoer adalah salah satu anggota BPUPKI. Ia dilahirkan dari keluarga yang memiliki akar tradisi pesantren yang kuat. Pria kelahiran Surabaya ini adalah salah satu pendiri dan Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya yang pertama.
Pada tahun 1927, ia dipercayai menjadi ketua Majelis Tarjih pertama PB Muhammadiyah. Lalu pada 1937, Mas Mansoer ditunjuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah. Ia juga menjadi salah satu yang memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) tahun 1938.
Mas Mansoer juga sempat memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang di dalamnya juga ada Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Peran dan pergerakannya yang malang melintang di ranah aktivisme membuatnya dihormati banyak kalangan.
Pada tahun 1943, Jepang membentuk organisasi bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Lapangan Ikada, Jakarta, setelah mengambil alih kekuasaan dari Belanda di Nusantara. Mas Mansoer bersama Ir Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai pemimpin PUTERA, yang kemudian dikenal sebagai Empat Serangkai.
-
Otto Iskandardinata (1897-1945)
Pria kelahiran Bandung, Jawa Barat ini dijuluki Si Jalak Harupat karena suara lantangnya menentang diskriminasi di dunia pendidikan kala itu. Tidak hanya berani mengkritik, Otto juga mengimplementasikan apa yang dibicarakannya. Ia pernah mendirikan Sekolah Kartini untuk mendidik para remaja puteri di Pekalongan.
Saat tiba di Batavia menjelang tahun 1928, Otto bergabung dengan Muhammadiyah dan mengajar di Algemene Middelbare School (AMS) Muhammadiyah. Ia kemudian diangkat menjadi kepala sekolah dan pada 1933 mengajak Ir Djuanda Kartawidjaja, sesama kader Muhammadiyah yang kelak menjadi pahlawan nasional, untuk menjadi guru di sana.
Ia juga aktif di Paguyuban Pasundan dan memanfaatkan kecintaannya pada sepak bola sebagai sarana perjuangan kemerdekaan. Ia mendukung pendirian Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ), cikal bakal Persija, dengan meminjamkan gedung sekolahnya untuk rapat pendirian pada 20 Oktober 1929 yang dihadiri tokoh seperti Mohammad Hoesni Thamrin dan Soeri.
Pada 1935, Otto ditarik menjadi anggota Volksraad (semacam DPR). Saat pendudukan Jepang, ia memimpin surat kabar Tjahaja setelah Sipatahunan dibredel pada 1942. Menjelang Proklamasi, Otto terlibat dalam PPKI dan ikut menyusun UUD 1945. Dalam BPUPKI, ia menjadi orang pertama yang mengusulkan Ir Sukarno sebagai presiden.
-
Soekiman Wirjosandjojo (1898-1974)
Soekiman Wirjosandjojo adalah anggota BPUPKI yang berperan dalam pembentukan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri ke-6 Indonesia dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo. Selain sebagai politikus dan pejuang kemerdekaan, Soekiman juga aktif di Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Pria kelahiran Surakarta itu menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) Boyolali, melanjutkan ke STOVIA Jakarta, dan meraih gelar dokter setelah belajar penyakit dalam di Universitas Amsterdam, Belanda. Ia pernah bekerja di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Tidak hanya sekadar bekerja, Soekiman juga adalah kader Muhammadiyah.
Pada 1938, bersama beberapa tokoh besar Muhammadiyah lainnya, Soekiman mendirikan PII yang kemudian berkembang menjadi Masyumi pada masa pendudukan Jepang tahun 1943. Selain itu, Soekiman dikenal sebagai pencetus konsep Tunjangan Hari Raya (THR) untuk karyawan pada awal 1950-an. Ia juga terlibat dalam pendirian Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.
-
Abdul Kahar Muzakir (1907-1973)
Pria kelahiran Yogyakarta ini merupakan anggota BPUPKI sekaligus anggota PB Muhammadiyah di tahun 1946–1973. Ia juga tergabung dalam Panitia Sembilan. Selain dikenal sebagai aktivis dan diplomat ulung, ia juga berperan aktif di dunia internasional, antara lain dalam upaya memerdekakan Palestina.
Dalam bidang pendidikan, ia menggagas berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta, yang kemudian menjadi cikal bakal UII di Yogyakarta. Pada akhir masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ia resmi diangkat sebagai rektor pertama UII.
Ia juga menjadi pelopor pendirian Akademi Tabligh Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1958, yang kemudian berkembang menjadi FIAD Muhammadiyah dan akhirnya menjadi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Saat menjabat Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, ia menggagas pendidikan tinggi khusus perempuan. Ide tersebut disampaikan dalam Muktamar ‘Aisyiyah 1962 dengan enam argumentasi yang memperkuat pentingnya pendirian lembaga tersebut.
-
Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito (1907-1991)
Barangkali, nama ini masih asing di telinga warga Muhammadiyah. Namun perempuan kelahiran Yogyakarta itu adalah kader kultural Muhammadiyah. Saat usianya masih 13 tahum ia adalah anggota Siswapraja Wanita Muhammadiyah, cikal bakal Nasyiatul Aisyiyah.
Sukaptinah juga tergabung dalam kelompok nasionalis Islam, Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (JIBDA). Ia dikenal luas sebagai aktivis perempuan pada masa kolonial dan turut berperan dalam berbagai forum penting, seperti Kongres Perempuan Indonesia I, II, III, dan IV.
Sukaptinah dikenal aktif memperjuangkan keterlibatan politik perempuan, termasuk hak pilih dan keterwakilan di parlemen. Ia pernah masuk ke dalam Partai Masyumi serta Ketua Badan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Saat menjadi anggota BPUPKI, ia memperjuangkan jaminan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam UUD 1945.
Setelah Indonesia merdeka, Sukaptinah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerja KNIP. Ia kemudian menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dan mencapai puncak karier politiknya saat terpilih menjadi anggota DPR sekaligus anggota Konstituante hasil Pemilu 1955.
-
AR Baswedan (1908-1986)
Lelaki kelahiran Surabaya ini adalah salah satu mubaligh Muhammadiyah yang aktif sejak masa kepemimpinan Mas Mansoer. Saat masih menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, Mas Mansoer kerap meminta AR Baswedan untuk menyampaikan ceramah dalam berbagai kegiatan Muhammadiyah.
AR Baswedan pernah menjadi pengasuh Kolom di harian Mercusuar, surat kabar umum milik Muhammadiyah. Ia juga dikenal sebagai anggota BPUPKI dan penggagas Kongres Peranakan Arab tahun 1943, serta kemudian memimpin Partai Arab Indonesia (PAI). Di samping itu, ia sempat menjadi bagian dari delegasi diplomatik Indonesia ke negara-negara Arab dan Mesir.
Setelah Indonesia merdeka, ia bergabung dengan Partai Masyumi dan menjabat sebagai Menteri Muda Penerangan dalam Kabinet Sjahrir II. AR Baswedan juga menjadi perwakilan Masyumi di Parlemen (KNIP dan DPR), serta tergabung dalam Badan Konstituante hasil Pemilu 1955.
- Ir Sukarno (1901-1970)
Sosok kelahiran Surabaya ini sudah tidak asing bagi semua masyarakat Indonesia. Dikenal sebagai Bapak Proklamator yang berani serta kontroversi, Bung Karno -sapaan akrabnya- juga adalah kader Muhammadiyah. Ia tertarik kepada Muhammadiyah setelah interaksinya dengan KH Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1938 saat Sukarno dibuang ke Bengkulu oleh kolonial Belanda, ia bertemu dengan tokoh Muhammadiyah setempat. Selama masa pengasingan itu, Sukarno tercatat sebagai Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah Daerah Bengkulu. Hal ini menunjukkan bahwa Sukarno adalah anggota resmi Muhammadiyah.
Selepas pengasingan di Bengkulu lalu menjadi presiden, Sukarno tetap merawat identitas kemuhammadiyahannya. Baginya, Muhammadiyah sejalan dengan alam pikirannya, yakni menghadirkan Islam yang progresif. Menariknya lagi, ia meminta namanya tetap dicatat sebagai kader dan ketika meninggal dikafani bendera Muhammadiyah.