MAKLUMAT — Alhamdulillah. Saya pernah diberi kesempatan memimpin Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah, LAZISMU.
Amanah itu membuka mata saya tentang betapa pentingnya seni memimpin dengan hati-hati.
Uang umat yang kami kelola bukan sekadar angka di buku, tetapi amanah yang berat. Jika salah dalam pengelolaan, yang terkorbankan adalah kepercayaan umat.
Ini serupa dengan tugas memimpin negara, di mana uang yang dikelola adalah uang rakyat. Dalam konteks inilah prinsip efisiensi dan efektivitas menjadi kunci yang tak bisa diabaikan.
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024, yang mengatur ulang tugas dan fungsi kementerian di dalam Kabinet Merah Putih untuk periode 2024-2029.
Nomenklatur baru diperkenalkan, dan Sekretariat Kabinet dibubarkan, dengan tugas-tugasnya diserap oleh kementerian lain. Perpres ini menegaskan bahwa penataan organisasi harus rampung sebelum 31 Desember 2024.
Sebuah langkah strategis yang, kalau dilihat dari sudut pandang manajemen lembaga, merupakan upaya untuk merampingkan birokrasi.
Namun, hal ini mengundang pertanyaan: apakah kabinet gemoy —dalam arti besar dan penuh dengan nama-nama penting—akan selalu lebih efektif?
Jawabannya, tentu tidak selalu. Tidak ada jaminan bahwa dengan banyaknya eksekutif, apalagi dengan gaji yang besar, sebuah lembaga akan lebih efisien.
Sama halnya dengan pengelolaan LAZISMU, besar atau kecilnya jumlah eksekutif, atau dalam hal ini para menteri, harus sesuai dengan kebutuhan dan target yang ingin dicapai.
Jangan salah sangka, banyaknya eksekutif yang bergaji besar tidak menjamin efisiensi. Bahkan, bisa jadi menjadi sumber keborosan jika tidak dikelola dengan tepat.
Setiap eksekutif harus punya kapasitas yang sebanding dengan tanggung jawabnya, dan penilaian kinerja mereka harus terukur secara jelas.
Efisiensi tidak datang hanya dari jumlah orang, melainkan dari kinerja yang terstruktur dan terukur.
Seperti dalam manajemen lembaga zakat, ada eksekutif yang meminta gaji lebih besar, tetapi tentu dengan ekspektasi kerja yang jauh lebih tinggi.
Kita harus menuntut mereka untuk bekerja lebih keras dan memberikan hasil lebih besar dari standar yang ada. Itu adil.
Efektivitas sebuah kabinet atau lembaga bergantung pada kemampuan kita menilai kinerja mereka secara objektif.
Tanpa ukuran yang jelas, bagaimana kita bisa memastikan apakah mereka layak dipertahankan atau justru harus diganti?
Kesabaran adalah hal yang perlu dijunjung tinggi dalam melihat kinerja mereka.
Biarkan mereka yang diberi amanah bekerja. Kita perlu memberikan ruang bagi mereka untuk menunjukkan kinerja mereka sebelum kita terburu-buru menilai.
Setiap tindakan harus berdasar pada data dan evaluasi yang matang. Jangan sampai terlalu cepat membangun prasangka buruk yang justru menghambat upaya perbaikan.
Prinsip pengelolaan kabinet maupun lembaga zakat sama-sama mengajarkan bahwa efisiensi tidak berarti hanya mengurangi jumlah orang.
Tetapi bagaimana bisa memanfaatkan sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya.
Jangan biarkan hanya karena ingin terlihat ‘gemoy’, kita membiarkan keborosan melanda.
Pada akhirnya, yang paling penting adalah menjaga amanah dengan adil. Dan adil itu dekat dengan taqwa. Ketika sebuah kabinet atau lembaga bisa mengelola dengan adil dan efisien, kesejahteraan rakyat akan lebih mudah tercapai.
Bismillah, semoga mereka yang diberi amanah dalam Kabinet Merah Putih bisa menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, membawa manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mari kita tetap berpikir positif, terus semangat dalam menegakkan keadilan. Sebab keadilan adalah fondasi dari efisiensi sejati.
*) Penulis : drh. Zainul Muslimin, Bendahara PWM Jatim