MAKLUMAT — Tom Lembong dan Said Didu saat ini sedang menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang dipandangnya semakin absurd.
Tom Lembong dikriminalisasi dengan dikasus hukumkan karena dituduhkan merugikan negara dengan kebijakan mengimpor gula. Impor terjadi ketika Tom Lembong menjabat sebagai Menteri perdagangan tahun 2015-2016.
Sementara Said Didu dipolisikan oleh ketua Apdesi (Asosiasi Pemerintah Daerah Seluruh Indonesia) Kabupaten Tangerang atas tuduhan provokasi pembangunan PIK (Proyek Indah Kapuk) 2.
Keduanya dikatakan sebagai simbol perlawanan negara karena apa yang diperjuangkan keduanya melawan kebijakan rezim. Tom Lembong dipandang dekat dengan Anies Baswedan yang menjadi ancaman pada kepemimpinan 2029.
Sementara Said Didu dipandang sebagai orang yang membahayakan kebijakan negara yang memberi fasilitas penguasa swasta dengan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Bahaya Tom Lembong-Said Didu
Tom Lembong merupakan mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016 yang saat ini sedang mengalami kriminalisasi hukum.
Dia dipandang mengambil kebijakan yang menyimpang karena telah mengimpor 105.000 ton gula di tengah surplus gula.
Tom Lembong dituduh merugikan negara sebasar 400 miliar. Di sisi lain, bukti kejahatan Tom Lembong berupa dana yang masuk ke rekeningnya, belum ada. Hal ini diakui oleh pihak Kejaksaan Agung. Dan juga belum ditemukan kerugian negara yang dituduhkan kepada Tom Lembong.
Di sisi lain, para mantan Menteri perdagangan setelah Tom Lembong juga tidak diperiksa, padahal jumlahnya lebih fantastis.
Oleh karena itu pantas apabila Tom Lembong meminta Menteri sebelum dia, Rachman Gobel (yang menjabat dari 27 Oktober 2014 hingga 12 Agustus 2015). Juga Menteri sesudahnya (Enggartiasto Lukita (2016-2019), Agus Suparmanto (2019-2020), Muhammad Lutfi (2020-2022), dan Zulkifli Hasan (2022-2024).
Tuntutan untuk memeriksa lima mantan Menteri perdagangan yang melakukan impor gula sangat masuk akal. Hal ini untuk membuktikan kesamaan di depan hukum, serta membuktikan tidak adanya politisasi hukum terhadap Tom Lembong.
Bilamana tuntutan itu tidak dipenuhi oleh Kejaksaan Agung, maka tidak salah opini publik bahwa negara telah menggunakaan hukum untuk kepentingan politik.
Setelah ditelisik, nuansa kepentingan politik sangat terlihat jelas karena Tom Lembong orang dekat Anies Baswedan.
Terlebih lagi, saat ini ada rencana pendirian “Partai Perubahan” yang diperkirakan akan menjadi kendaraan Anies Bawedan untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2029.
Dengan mengkriminalisasi Tom Lembong, menjadi sinyal kuat terhadap siapa pun yang dekat dan berpotensi membantu Anies Baswedan, akan mendapatkan perlakuan seperti Tom Lembong.
Hal yang serupa juga dialami Said Didu. Dia dikriminalisasi karena aktivitas dan daya kritisnya pada proyek PIK. Pembelaan terhadap rakyat dipandang oleh sebagai ancaman proyek negara yang termaktub dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Din Syamsuddin tidak salah bila mengatakan bahwa pemanggilan mantan sekretaris BUMN, oleh penyidik Polres Kabupaten Tangerang, sebagai bentuk kriminalisasi hukum.
Menurutnya, Polri harus menegakkan keadilan dan berpihak kepada rakyat. Jangan ada kriminalisasi atas rakyat demi kepentingan pengusaha.
Sebagaimana diketahui bahwa Said Didu dilaporkan ke polisi oleh ketua Asosiasi Pemerintah Daerah Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Tangerang atas tudingan provokasi PIK 2.
Hal ini disebabkan Said Didu kerap mengkritik mega proyek PIK 2 yang dimasukkan pemerintah ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Mengutip kritik Din Syamsuddin bahwa apa yang dilakukan Said Didu merupakan bentuk kritis warga negara yang memandang PIK 2 sebagai proyek yang akan menciptakan negara di dalam negara. Proyek ini dapat mendorong sentimen antar-etnik yang berbahaya bagi persatuan Indonesia.
Oleh karenanya, dia meminta agar Polisi jangan mau dikangkangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Dengan demikian apa yang dilakukan oleh mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tahun 2005-2010, dalam pandangan negara dianggap sebagai ancaman PSN, sehingga dengan menggunakan tangan Apdesi berupaya untuk mengkriminalisasi Said Didu.
Daya kritis Said Didu memang bukan hanya kali ini saja. Dia pernah menjadi Staf Khusus Menteri ESDM Sudirman Said pada 2014 di era kepemimpinan presiden Jokowi. Begitu Sudirman Said dicopot pada 2016, Said Didu pun mundur dan mulai terlihat kritis terhadap kebijakan rezim.
Jokowi Sebagai Musuh Bersama
Kriminalisasi hukum terhadap Tom Lembong dan Said Didu tidak lepas dari kepentingan politik. Dalam konteks Tom Lembong yang dikriminalisasi karena berani melawan rezim Jokowi.
Tom Lembong secara politik telah mendukung Anies Baswedan, mulai dari pencalonan Piplres 2024, hingga menjadi mobilisator pendirian Partai Perubahan yang diperkirakan menjadi kendaraan politik Anies di 2029.
Dengan majunya Anies Baswedan pada Piplres 2029 dipastikan menjadi halangan utama bagi Gibran Rakabuming Raka (Putra Jokowi) untuk maju di laga yang sama.
Dengan mengkriminalisasi Tom Lembong, diharapkan memberi sinyal bagi para loyalis Anies bilamana berani bertindak seperti Tom Lembong, akan mendapat perlakuan yang sama. Dengan kriminalisasi Tom Lembong, akan menggembosi kekuatan mana pun yang akan menopang Anies dalam Piplres 2029.
Kriminalisasi yang dialami oleh Tom Lembong sangat jelas nuansa dan aroma politiknya. Hal ini sebagaimana dinyatakan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD bahwa wajar bila ada yang menganggap kasus impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong, adalah bentuk kriminalisasi politik.
Sebab, kebijakan impor gula juga dilakukan oleh Mendag sesudah Tom Lembong, bahkan lebih masif..
Sementara pemeriksaan terhadap Said Didu, dengan menarget dan memenjarakannya, merupakan upaya untuk mengamankan proyek-proyek yang selama ini sudah dikasih jalan oleh rezim Jokowi.
Proyek Indah Kapuk (PIK) merupakan proyek pembangunan yang menjadi milik pihak swasta (oligarki). Proyek ini masuk PSN dan negara menjadi penopang dalam memberi biaya dan fasilitasnya.
Tentu saja bilamana Said Didu dibiarkan dan tak dipenjarakan dikhawatirkan akan memberi amunisi bagi kekuatan rakyat untuk melakukan perlawanan. Bilamana perlawanan kecil yang dilakukan Said Didu dibiarkan, maka proyek PIK 2 ini akan mengalami hambatan besar.
Betapa tidak, mereka akan melakukan pola yang dilakukan oleh Said Didu dengan berani melawan dan membatalkan PIK 2 ini.
Menghadapi tekanan yang demikian kuat dan sistematis ini, Said Didu bukannya mundur, tetapi justru semakin berani.
Terlebih lagi berbagai kekuatan civil society memberi dukungan moral kepada Said Didu untuk melakukan perlawanan secara gigih.
Bahkan para pegiat sosial, media sosial, dan tokoh ormas dan cendekiawan, dan aktivis terus bergerak menopang aktivitas Said Didu dalam melawan kebijakan yang absurd.
Kriminalisasi hukum yang menimpa Tom Lembong dan Said Didu benar-benar melahirkan kekuatan, dan dukungan baru. Kekuatan ini untuk melawan kepentingan politik Jokowi yang ingin diwujudkan, dan dilanggengkan meski tidak berkuasa lagi.
Tom Lembong dan Said Didu dijadikan sosok yang tepat untuk menjadi simbol terhadap kebijakan negara yang dipandang tidak membela kepentingan rakyat kebanyakan.
*) Penulis adalah pemimpin redaksi majelistablig.id