MAKLUMAT – Kepala SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Sidoarjo, M Zainul Arifin angkat bicara soal pro-kontra Ujian Nasional (UN) apakah akan kembali diadakan atau tidak.
Menurut Zainul, UN pada dasarnya bertujuan sebagai alat evaluasi standar untuk mengukur capaian kompetensi siswa di seluruh Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya kerap terjadi kontroversi lantaran beberapa hal.
Di antaranya menyebabkan tekanan psikologis di mana siswa sering merasa stres karena UN dianggap sebagai penentu utama kelulusan.
Kemudian, bahwa UN tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan. Sebab, UN cenderung hanya mengukur kemampuan akademik dan kurang memperhatikan kecakapan lain seperti kreativitas, kolaborasi, dan soft skills.
“Lalu terkait kesetaraan fasilitas atau sarana dan prasarana (sarpras). Ketimpangan fasilitas pendidikan di berbagai daerah membuat hasil UN kurang adil sebagai standar evaluasi nasional,” ujarnya kepada Maklumat.ID, Ahad (24/11/2024).
Urgensi: UN Penting atau Tidak?
Zainul berpendapat, UN menjadi penting dalam konteks sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan nasional, bukan sekadar sebagai syarat kelulusan.
Namun, menurut dia, urgensi tersebut seolah cenderung menurun seiring perkembangan pendekatan evaluasi pendidikan, di mana system pendidikan saat ini yang lebih menekankan kepada evaluasi berbasis proyek atau portofolio.
“Penilaian formatif untuk memahami proses belajar, bukan hanya hasil. Karena itu, UN bisa diganti dengan evaluasi yang lebih holistik dan relevan,” sebutnya.
Lebih lanjut, jika memang kemudian UN kembali diadakan, Zainul menekankan sejumlah evaluasi terhadap pelaksanaan UN sebelum-sebelumnya.
Menurutnya, penyelenggaraan UN memiliki keunggulan sebagai standar pengukuran nasional yang membantu pemerintah untuk memetakan capaian akademik di berbagai daerah.
Meski begitu, terdapat beberapa kelemahan yang harus dievaluasi jika memang benar-benar akan dikembalikan.
Di antaranya bahwa adanya UN membuat pengukuran terfokus pada hasil, sehingga kurang mengapresiasi proses belajar.
Selain itu, potensi kecurangan yang masih sangat sulit untuk diminimalisir, karena tekanan untuk mencapai nilai tinggi.
“(Lalu) Kurangnya validasi atas relevansi materi UN dengan kebutuhan siswa di dunia kerja atau pendidikan lanjutan,” tandasnya.
Dampak Tidak Ada UN
Sebaliknya, Zainul juga mengkritisi sejumlah dampak sebagai akibat tidak adanya UN sejak pandemi Covid-19 dan penerapan Kurikulum Merdeka Belajar.
Menurutnya, ketiadaan UN berdampak positif mengurangi tekanan psikologis siswa dan mendorong sekolah-sekolah terkait untuk mengembangkan sistem evaluasi berbasis proyek ataupun ujian internal.
Namun, kelemahannya menyebabkan pemerintah tidak memiliki standar nasional untuk melakukan pemetaan kualitas pendidikan.
“Tidak adanya standar nasional membuat pemetaan kualitas pendidikan antar daerah lebih sulit,” kata Zainul.
Smamda Sidoarjo Adaptif dan Konstruktif
Smamda Sidoarjo sendiri sebagai institusi penyelenggara pendidikan di tingkat menengah akan bersikap adaptif dan konstruktif.
Zainul memberikan beberapa poin catatan, bahwa Smamda Sidoarjo akan mendukung kebijakan pemerintah bagaimana pun formatnya.
“Smamda itu progresif, fokus pada pengembangan evaluasi berbasis kompetensi, seperti penilaian berbasis proyek, kolaborasi, dan karakter sesuai visi misi sekolah,” terangnya.
“Kami juga konsisten. Artinya, Smamda tetap memanfaatkan evaluasi internal untuk memastikan lulusan memiliki kemampuan akademik dan non-akademik yang berkualitas,” sambung Zainul.
Zainul menegaskan kesiapan pihaknya untuk mengadaptasi kebijakan pemerintah dan memastikan dapat diterapkan dengan baik tanpa mengorbankan esensi pendidikan.
“Kami tentu mendukung kebijakan pemerintah. Apa pun format yang ditetapkan pemerintah, Smamda siap beradaptasi dan memastikan kebijakan tersebut diterapkan dengan baik tanpa mengorbankan esensi pendidikan,” katanya.
“Pendekatan ini sejalan dengan visi Smamda untuk menjadi sekolah unggul dan berkarakter Islami,” pungkas Zainul.