MAKLUMAT – Pasca-operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap calon gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, beredar foto surat instruksi dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Bengkulu.
Surat bernomor 250/INS/II.0/B/2024 tersebut berisi instruksi untuk tetap konsisten memenangkan kader Muhammadiyah pada Pemilihan Gubernur Bengkulu.
Surat yang ditandatangani pada 25 November 2024 ini juga meminta warga Muhammadiyah di seluruh wilayah Bengkulu untuk melaksanakan salat tahajud.
Selain itu, warga diminta mendoakan Rohidin Mersyah dan Meriani agar senantiasa diberikan kekuatan dan kesehatan dalam setiap salat. Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua PWM Bengkulu, Dr. H. Fazrul Hamidy, M.M., dan Sekretaris Dr. Amrullah, M.Si.
Pilgub Bengkulu 2024 diikuti oleh dua pasangan calon peserta Pilgub Bengkulu 2024. Pasangan pertama yang ditetapkan adalah H. Helmi Hasan, S.E., yang berpasangan dengan Ir. H. Mian.
Pasangan ini diusung tujuh partai politik—PAN, PDIP, Gerindra, NasDem, Demokrat, PKB, dan Gelora—datang bersama rombongan pimpinan partai pengusul.
Pasangan kedua adalah Dr. H. Rohidin Mersyah, M.M.A., yang berpasangan dengan Meriani, S.H. Paslon ini didukung 4 partai politik yakni Partai Golkar, Hanura, PPP dan PKS.
Seperti diketahui, operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK di Bengkulu mengejutkan publik, Sabtu (23/11). Pasalnya, calon gubernur petahana, Rohidin Mersyah, tertangkap dalam kasus dugaan pemerasan terhadap anak buahnya demi membiayai kebutuhan politik dalam Pilkada Serentak yang akan berlangsung pada Rabu, 27 November 2024.
Rohidin Mersyah Tetap Bisa Ikut Pilkada
Ketua KPU RI, Mochamad Afifuddin, memastikan bahwa Rohidin Mersyah, calon gubernur Bengkulu yang terjerat operasi KPK, tetap berhak mengikuti Pilkada Serentak 2024. Ia menjelaskan, sesuai aturan yang berlaku, Rohidin tetap dapat dilantik jika memenangkan Pilkada, namun akan langsung diberhentikan apabila berstatus terpidana saat pelantikan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada serta Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024, calon tersebut masih bisa dipilih oleh masyarakat, ditetapkan sebagai pemenang, dan dilantik sebagai gubernur.
“Ketentuan ini merujuk pada Pasal 163 ayat 6, 7, dan 8 Undang-Undang Pilkada,” ujar Afifuddin dikutip dari Antara
Penangkapan Petahana
Titi Anggraini, pengajar pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyatakan bahwa penangkapan petahana bukanlah hal baru. Dikutip dari wawancara dengan Kompas TV, Selasa (26/11/2024), KPK pada 2017, pernah melakukan OTT terhadap calon kepala daerah petahana di tengah proses Pilkada. Beberapa kasus serupa juga terjadi di Lampung, Maluku Utara, dan daerah lainnya. Saat itu, publik mendukung langkah KPK sebagai upaya penegakan hukum yang adil.
Menurut Titi, penegakan hukum terhadap petahana kerap menuai pro dan kontra. Namun, jawabannya terletak pada proses hukum yang transparan dan akuntabel. Ia menegaskan, penegakan hukum tidak boleh dihentikan hanya karena bertepatan dengan Pilkada. Jika dihentikan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap proses hukum.
Titi juga menyoroti sejarah panjang OTT petahana di Bengkulu. Sebelumnya, Gubernur Agus Rin dan Ridwan Mukti juga terjerat kasus serupa. Kini, Rohidin Mersyah menyusul dalam daftar tersebut. Apakah ini terkait dengan politisasi Pilkada? Menurut Titi, hanya proses hukum yang dapat menjawab pertanyaan ini.
Undang-Undang Pilkada mengatur bahwa status tersangka tidak secara otomatis menggugurkan pencalonan seorang kandidat. KPU hanya dapat bertindak sesuai aturan yang ada. Pada 2017, masyarakat sipil sempat mengusulkan agar calon kepala daerah yang menjadi tersangka dapat diganti. Namun, usulan tersebut tidak diakomodasi karena bertentangan dengan prinsip presumption of innocence (praduga tidak bersalah).
Titi menjelaskan bahwa selama proses hukum berjalan, kandidat tetap dapat melanjutkan pencalonannya. Jika terpilih, statusnya sebagai tersangka tidak menghalangi pelantikannya. Namun, jika ia menjadi terdakwa, maka akan diberhentikan sementara. Bila terbukti bersalah, posisinya akan digantikan oleh wakil kepala daerah.
KPK Harus Transparan
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menilai bahwa tidak ada aturan hukum yang melarang proses penegakan hukum selama Pilkada berlangsung. Menurutnya, waktu OTT dipilih oleh pelaku, bukan KPK. Oleh karena itu, KPK memiliki kewajiban hukum untuk merespons kasus korupsi kapan pun terjadi.
Zaenur menegaskan pentingnya KPK memegang dua alat bukti yang cukup sebelum menetapkan tersangka. Penegakan hukum tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik, seperti pembunuhan karakter. Jika korupsi dibiarkan hanya karena masa tenang Pilkada, masyarakat akan dirugikan karena memilih tanpa mengetahui fakta sebenarnya.
Lebih lanjut, Zaenur menjelaskan bahwa laporan korupsi sering kali muncul dari rival politik. Namun, fokus KPK adalah pembuktian berdasarkan alat bukti yang sah. Dalam kasus OTT, biasanya KPK sudah memiliki rekaman audio-visual, saksi, dan bukti lainnya sebelum menangkap pelaku.
Ia menekankan pentingnya transparansi dalam penanganan kasus agar publik dapat menilai secara objektif. Menurutnya, OTT seperti ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mempertimbangkan ulang pilihannya. Dengan demikian, penegakan hukum tidak hanya menjadi alat pemberantasan korupsi, tetapi juga pendidikan politik bagi masyarakat.