MAKLUMAT — Nama Zaharman mencuat ke permukaan pada peringatan Hari Disabilitas Internasional 2024 yang diperingati setiap 3 Desember. Guru olahraga dari SMA Negeri 7 Rejang Lebong, Bengkulu, mendapat anugerah penghargaan sebagai Guru Menginspirasi.
Bukan sekadar pengakuan atas dedikasinya selama 33 tahun mengajar di wilayah terpencil, tetapi juga atas keberaniannya menghadapi berbagai tantangan, termasuk kehilangan penglihatan pada mata kanannya akibat serangan orang tua siswa. Bagaimana kisahnya?
Sejak tahun 1991, Zaharman telah menjadi saksi bisu betapa beratnya perjuangan mengajar di daerah terpencil. Setiap hari, ia menempuh perjalanan jauh menuju sekolah yang terletak di kawasan rawan kriminalitas. Medan yang sulit dan ancaman begal menjadi teman perjalanannya selama bertahun-tahun.
“Bagi pendatang baru, situasi di sini cukup menyeramkan. Saya sendiri beberapa kali mendengar cerita tentang begal di jalan yang saya lalui setiap hari,” tuturnya.
Tantangan tak hanya datang dari luar, tapi juga dari lingkungan sekitar sekolah. Warga kerap masuk area sekolah tanpa izin, bahkan mengganggu kegiatan ekstrakurikuler. Bagi Zaharman, situasi ini menjadi ujian kesabaran yang tak ada habisnya.
Luka yang Mengubah Segalanya
Seperti dilansir laman Kemdikbud, insiden yang mengubah hidupnya terjadi pada 1 Agustus 2023. Saat menegur seorang siswa yang merokok di sekolah, Zaharman tak menyangka akan mendapat reaksi keras. Orang tua siswa menyerangnya dengan ketapel. Batu kecil itu mengakibatkan kebutaan permanen pada mata kanannya.
“Mata kanan saya sekarang hanya terlihat normal dari luar, padahal itu sudah palsu,” ujarnya. Meski trauma menghantui, Zaharman memilih bertahan. “Saya berpikir, di mana pun mengajar, tantangan pasti ada. Usia saya juga sudah mendekati pensiun, jadi pindah sekolah bukan solusi.”
SMA Negeri 7 Rejang Lebong adalah gambaran nyata betapa sulitnya pendidikan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Minimnya fasilitas, jumlah guru yang terus menyusut, serta pola asuh siswa yang berubah menjadi kendala utama.
“Dulu, kalau anak dimarahi guru, orang tua mendukung. Sekarang, justru orang tua yang marah. Ini membuat siswa sulit belajar bertanggung jawab,” keluh Zaharman.
Fasilitas sekolah yang kian menurun juga menjadi alasan banyak guru memilih pindah ke sekolah dengan lingkungan lebih baik. Akibatnya, jumlah murid terus berkurang, dan kegiatan belajar mengajar makin terhambat.
Inspirasi Bagi Guru di Seluruh Negeri
Meski penuh rintangan, Zaharman tetap teguh mengajar. Baginya, menjadi pendidik adalah panggilan jiwa. Penghargaan yang diterimanya menjadi bukti bahwa perjuangannya tidak sia-sia.
“Setiap guru di daerah 3T pasti menghadapi tantangan seperti saya. Tapi kita harus ingat, anak-anak yang kita didik adalah masa depan bangsa. Jangan pernah menyerah,” pesannya.
Ia juga berharap penghargaan ini dapat memotivasi guru lain untuk terus berjuang, meski tantangan zaman semakin berat.
Kisah Zaharman bukan hanya tentang seorang guru, tapi juga tentang keberanian, dedikasi, dan ketulusan. Pengabdiannya mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah perjuangan panjang yang membutuhkan hati besar.
Melalui semangatnya, Zaharman telah membuktikan bahwa meski diterpa badai, seorang guru tetap bisa menjadi lentera harapan bagi generasi penerus. “Saya percaya, ketulusan seorang guru tidak akan pernah sia-sia,” tutupnya dengan penuh keyakinan.