MAKLUMAT – Sidang Tanwir Muhammadiyah yang digelar di Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK), 4-6 Desember 2024, sukses digelar. Namun di balik kemegahan panggung Tanwir Muhammadiyah terselip cerita yang begitu dalam dan membekas. Bukan hanya soal keramahan masyarakat Kota Karang, tetapi juga tentang bagaimana toleransi antarumat beragama dijalani sehari-hari di kampus Krismuha (Kristen Muhammadiyah) itu.
Adalah Oryenes Boimau, S.Pd., M.Hum., seorang dosen yang telah menjadi bagian dari keluarga besar Krismuha di UMK sejak 2018. Sebagai pendidik sekaligus putra asli Kabupaten Kupang, Oryenes menyebut UMK bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi mercusuar multikulturalisme di Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Mahasiswa di sini hampir 70 persen anak-anak asli NTT,” ungkapnya kepada Maklumat.ID, disela-sela kegiatan Tanwir Muhammadiyah. Angka ini menjadi bukti nyata bahwa UMK hadir untuk memberdayakan generasi muda lokal melalui pendidikan berkualitas.
Sebagai alumni Universitas Cendana, Oryenes merasa UMK memiliki peran besar dalam membangun sumber daya manusia di NTT. “Semoga Muhammadiyah terus menjadi inspirasi bagi masyarakat NTT,” ungkapnya dengan penuh harap pada Milad ke-112 Muhammadiyah.
Mengajar dengan Hati
Oryenes mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), membimbing mata kuliah seperti Keterampilan Berbicara dan Perencanaan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Namun yang menarik, ia juga mengajar mata kuliah Agama Kristen Protestan—sebuah hal yang mungkin terdengar tidak biasa untuk kampus berbasis Islam.
Dalam satu kelas, ia biasanya membimbing 25-30 mahasiswa aktif. “Toleransi di sini sudah jadi budaya. Saat saya melamar sebagai dosen, bahkan ada materi tes tentang toleransi beragama,” kenangnya. Pengalaman ini mempertegas bahwa UMK telah menjadikan nilai kebersamaan sebagai fondasi kuat.
UMK juga menunjukkan keunggulannya di tengah persaingan dengan kampus-kampus lain di Kupang seperti Universitas Kristen Artha Wacana, Universitas Widya Mandira, dan Universitas Arya Satya Dewo Muri. Dengan jarak kampus yang hanya sekitar satu kilometer, UMK menonjol lewat manajemen yang terarah dan terpusat, menurut Oryenes.
UMK Menyatu dengan Komunitas Lokal
Semangat “katong semua bersaudara” begitu terasa di UMK. Interaksi harmonis antara mahasiswa, dosen, dan masyarakat lokal menjadi bukti nyata bagaimana UMK berperan sebagai ruang inklusif. Tak hanya itu, alumni UMK kini telah menorehkan prestasi di berbagai bidang, termasuk pemerintahan. “Banyak alumni UMK yang jadi bupati dan anggota Dewan,” ujarnya dengan bangga.
Bahasa lokal seperti Dawan dan Tetun yang digunakan di Belu, Malaka, hingga Timor Leste, juga menjadi bagian dari keseharian di kampus. Hal ini menambah warna multikultural di UMK, menjadikannya kampus yang tidak hanya mendidik tetapi juga mengukuhkan identitas budaya lokal.
Generasi Mendatang
Hampir lima dekade kehadirannya di NTT, UMK telah membawa perubahan besar. Bukan hanya di bidang pendidikan, tetapi juga dalam pemberdayaan masyarakat. Oryenes Boimau, dengan segala dedikasinya, adalah bukti nyata bagaimana UMK mencetak generasi toleran, kompeten, dan siap menghadapi tantangan global.
“Terima kasih atas kehadiran UMK di Kupang. Semoga terus memberi manfaat bagi generasi mendatang,” tutup Oryenes, menyampaikan rasa syukurnya.
Cerita ini adalah pengingat bahwa toleransi tidak hanya tentang kata-kata, tetapi juga tindakan nyata. Dan di UMK, toleransi itu hidup dan berkembang, menjembatani perbedaan untuk masa depan yang lebih baik.