MAKLUMAT – Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD kembali menjadi perbincangan hangat. Di satu sisi, sistem ini dianggap lebih efisien dibandingkan pemilihan langsung oleh rakyat yang membutuhkan anggaran besar.
Namun, kekhawatiran akan kemunduran nilai demokrasi juga mencuat. Menanggapi hal itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (FH UMM), Dr. Sholahuddin Al-Fatih, MH., mengusulkan sistem pilkada campuran untuk Indonesia.
Menurut Fatih, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan fleksibilitas terkait mekanisme Pilkada. “UUD 1945 tidak spesifik menentukan apakah kepala daerah harus dipilih langsung atau melalui DPRD. Keduanya diperbolehkan asalkan dilakukan secara demokratis,” jelasnya, Senin (23/12/2024).
Fatih menekankan bahwa demokrasi tidak harus selalu diwujudkan melalui pemilihan langsung. Representasi oleh DPRD, menurutnya, juga merupakan bentuk demokrasi. Salah satu alasan utama mendukung Pilkada oleh DPRD adalah efisiensi anggaran, terutama di daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah.
“Biaya Pilkada langsung sangat besar. Dari pencetakan surat suara, distribusi logistik, hingga kampanye, semuanya memakan anggaran. Di daerah seperti Papua, biaya Pilkada bahkan bisa menyedot lebih dari separuh pendapatan daerah, yang seharusnya digunakan untuk pembangunan,” ujar Fatih.
Ia juga menyoroti tingginya potensi konflik dalam Pilkada langsung, terutama di wilayah rawan seperti Papua. “Konflik antarpendukung sering kali berujung pada kekerasan, bahkan hilangnya nyawa. Dengan Pilkada oleh DPRD, konflik dapat diminimalisasi karena hanya melibatkan anggota DPRD sebagai pemilih,” tambahnya.
Namun, sistem ini juga menuai kritik. Pilkada oleh DPRD dianggap mengurangi partisipasi langsung masyarakat dalam demokrasi dan membuka peluang praktik politik uang di kalangan anggota DPRD.
“Praduga tentang jual-beli suara di DPRD memang ada, tapi itu harus diuji melalui pelaksanaan yang transparan. Pemilihan oleh DPRD bukan berarti demokrasi hilang, melainkan penyesuaian untuk efisiensi,” tegasnya.
Fatih mengusulkan solusi berupa sistem campuran. Daerah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tinggi dan indeks kerawanan demokrasi rendah, seperti Jakarta, tetap menggunakan Pilkada langsung. Sebaliknya, daerah rawan konflik seperti Papua disarankan menerapkan Pilkada oleh DPRD.
Ia juga membandingkan sistem ini dengan negara lain. “Di Malaysia, pemilihan kepala daerah oleh parlemen lokal berhasil karena homogenitas masyarakatnya tinggi. Tapi Indonesia memiliki karakteristik masyarakat yang berbeda, sehingga perlu adaptasi,” kata dosen asal Gresik itu.
Fatih menutup dengan catatan bahwa Pilkada oleh DPRD menawarkan efisiensi dan mengurangi konflik, tetapi potensi kemunduran demokrasi dan korupsi tetap menjadi tantangan besar. “Regulasi yang tepat dan fleksibilitas pendekatan bisa membuat sistem ini menjadi solusi, tanpa mengorbankan demokrasi,” pungkasnya.