MAKLUMAT — Dua puluh tahun yang lalu, pada pagi 26 Desember 2004, dunia terperangah menyaksikan salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah, Tsunami Aceh. Bencana yang menghancurkan sebagian besar wilayah di Provinsi Aceh dan menelan puluhan ribu nyawa.
Namun, di balik musibah yang menimpa, ada cerita lain yang tidak banyak diketahui publik—sebuah cerita tentang seorang wanita yang menyaksikan dan merekam ketegangan, kepanikan, serta keberanian manusia dalam menghadapi bencana besar ini.
Dialah Cut Putri, seorang wanita yang pada saat itu tengah berada di Aceh bersama keluarganya. Kepada akun Youtube SerambiNews, Cut Putri menuturkan kesaksiannya betapa manusia tidak berdaya dihadapkan pada kekuatan Allah SWT.
Keputusan Cut Putri untuk merekam apa yang terjadi bukan hanya sebagai dokumentasi semata. Tetapi juga sebagai bentuk pengabdian kepada kebenaran dan keinginan untuk memberi tahu dunia tentang kebesaran Tuhan melalui lensa kamera. Bagi Cut Putri, kameranya bukan hanya alat untuk merekam gambar, tetapi juga menjadi saksi bisu dari kedahsyatan alam.
Tsunami Menyapa
Cut Putri tidak menduga bahwa hari yang awalnya tampak biasa itu akan berakhir dengan begitu tragis. Sehari sebelumnya, Cut Putri masih berjalan-jalan di sekitar Banda Aceh. Dia juga mengabadikan pemandangan indah Sabang dan kawasan pantai seperti Lhoknga dan Lampuuk dengan kamera handycam-nya. Keberadaannya di Aceh, yang pada awalnya untuk menghadiri pernikahan keluarga, tiba-tiba berubah menjadi saksi dari peristiwa sejarah yang tak terlupakan.
Pagi itu, Cut Putri bersama keluarganya sedang sarapan di rumah yang terletak di kawasan Lampulo, Banda Aceh. Ketika gempa bumi besar mengguncang, suasana tenang seketika berubah menjadi kacau. Kepanikan mulai melanda, barang-barang berjatuhan, dan suara deru gemuruh mulai terdengar. Cut Putri dan keluarganya berlarian keluar rumah, menginjak pecahan keramik yang berserakan di lantai.
Namun, di tengah kekalutan itu, ada satu hal yang tetap dipegang teguh oleh Cut Putri—kamera handycam-nya. Tanpa ragu, ia menyalakan perangkat tersebut dan mulai merekam peristiwa yang tengah berlangsung. Rekaman itu tak hanya mengabadikan suara gemuruh gempa, tetapi juga menunjukkan kegentingan situasi: pot-pot bunga bergoyang, kaca pecah, dan langit yang tiba-tiba berubah suram.
Gelombang Air Laut yang Menyapu
Panik mulai merajalela. Dari arah pantai terdengar teriakan-teriakan, “Air naik! Air naik!” Orang-orang yang semula berkumpul di sekitar rumah mulai berlarian menuju tempat yang lebih tinggi. Tapi, air itu datang lebih cepat daripada yang bisa dibayangkan. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Dalam hitungan detik, gelombang tsunami yang besar sudah menjalar ke seluruh kota.
Dalam keadaan panik itu, ayah Cut Putri berteriak, “Naik ke atas! Naik ke atas!” Keputusan untuk mencari tempat yang lebih tinggi, yang sudah dipelajari Cut Putri di Papua setelah gempa besar beberapa tahun sebelumnya, menjadi hal utama yang harus dilakukan. Bersama keluarga dan tetangga yang juga berlari ke atas, Cut Putri berusaha memastikan semua orang aman.
Namun, saat itu, tidak semuanya sempat menyelamatkan diri. Beberapa orang yang terlambat naik tangga atau yang tidak menyadari datangnya tsunami, tersapu oleh air yang datang begitu cepat. Di lantai atas, Cut Putri melihat pemandangan yang mengerikan—air yang datang dari laut membawa barang-barang, pepohonan, bahkan tubuh manusia, semuanya dihanyutkan dengan cepat.
Dokumentasi Kehidupan dan Kematian
Namun, meski bencana besar tengah terjadi di hadapannya, Cut Putri tetap memegang kamera. Ia yakin bahwa selama ia masih hidup, ia akan terus merekam peristiwa ini. Ia berdoa dalam hati, “Jika memang saatnya Cut Putri harus mati, Cut Putri ikhlas. Tetapi biarkan kaset ini sampai ke dunia luar, agar mereka tahu kebesaran Allah.”
Apa yang terjadi selanjutnya sangatlah luar biasa. Dengan segala kepanikan yang melanda, dan dengan air yang terus naik, Cut Putri masih terus berusaha merekam—merekam momen-momen terakhir dari kehidupan yang berubah dalam sekejap mata. Saat itu, dia tidak tahu apakah kasetnya akan sampai ke dunia luar atau apakah dia akan selamat dari peristiwa yang begitu menakutkan itu.
Di balik ketegangan yang memuncak, rekaman-rekaman yang dibuat oleh Cut Putri menjadi salah satu saksi bisu dari tragedi ini. Kasetnya yang sempat basah terkena air menjadi barang berharga yang menyimpan banyak kenangan dan cerita, tentang bagaimana sebuah bencana bisa mengubah segalanya dalam waktu singkat, dan bagaimana manusia tetap berusaha bertahan meski tak berdaya di hadapan kekuatan alam yang begitu besar.
Pelajaran dan Kesadaran Baru
Saat tsunami itu akhirnya surut, dan Cut Putri mulai bisa mengakses dunia luar, ia merasa bahwa apa yang ia alami adalah sebuah pelajaran hidup yang besar. Sebagai seorang saksi hidup dari peristiwa yang mengubah sejarah itu, ia sadar bahwa kita sebagai manusia hanya bisa berusaha, namun segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Tuhan.
Sebagai seorang yang turut merasakan kedahsyatan tsunami Aceh, Cut Putri tidak hanya merekam peristiwa tersebut, tetapi juga mencoba menyampaikan pesan yang lebih besar—bahwa hidup ini sangat rapuh, dan kita harus selalu bersyukur atas apa yang kita miliki. Saat bencana datang, yang tersisa hanya keberanian, kebersamaan, dan ikhtiar untuk bertahan.
Melalui lensa kamera, Cut Putri menjadi bagian dari cerita besar yang mengubah wajah dunia. Dua puluh tahun berlalu, tetapi rekaman-rekaman itu tetap abadi, menjadi pengingat bagi kita semua tentang kebesaran Allah dan keindahan dalam setiap detik kehidupan.