23.1 C
Malang
Jumat, Januari 10, 2025
OpiniPresidential Threshold dan Petir Sembilan Sulaiman

Presidential Threshold dan Petir Sembilan Sulaiman

MAKLUMAT — Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) Nomor 62/PUU-XII/2024 tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold bagaikan energi kuantum dalam demokrasi elektoral di Indonesia.

Putusan itu menjadi landasan konstitusional untuk mengokohkan dan menancapkan tiang pancang terkuat dalam pilar bernegara.

Presidential Threshold
Penulis: Indra J Piliang*

Putusan itu pada prinsipnya menegaskan betapa demokrasi Indonesia tidak lagi tergantung kepada orang per orang, tokoh besar, atau para darah biru dalam kancah politik modern, dengan bersandar kepada persekongkolan elite-elite partai politik, melainkan makin mengarahkan demokrasi sebagai sistem yang berbasis vox populi vox dei.

Putusan ini berhasil menegakkan keteladanan dan kewibawaan penyelenggara negara yang dipilih (elected), bukan diangkat (appointed), dari kepala desa, kepala daerah, hingga kepala negara, tetapi mampu menahan rapuh, retak, dan miringnya bangunan negara dalam menggapai kesejahteraan seluruh warga negara.

Eksistensi partai politik yang selama ini dominan dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden dalam kartelisasi politik, juga diberangus.

Benar bahwa partai politik masih menjadi organisasi satu-satunya yang berhak mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tetapi independensi masing-masing partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu semakin mendapat tempat, tidak lagi tergantung kepada partai politik lain.

Besar-kecilnya perolehan suara dalam pemilu legislatif sama sekali tak menjadi ukuran. Walau belum sampai kepada bentuk ultra liberal, yakni kehadiran calon presiden dan calon wakil presiden perseorangan sebagaimana dijalankan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis dan India, putusan Mahkamah Konstitusi itu semakin menempatkan demokrasi Indonesia pada titik yang mengadopsi prinsip-prinsip kebebasan.

Sistem multi partai masih menjadi andalan dalam konstitusi Indonesia. Partai politik adalah tulang punggung penegakan supremasi sipil dan hak-hak dasar warga negara. Sejak zaman pergerakan, kaum intelektual Indonesia memiliki afiliasi yang kuat dengan partai politik dalam era kolonial.

Partai-partai politik nasional itupun sambung-sinambung dengan partai politik tingkat global atau internasional. PAN Islamisme dan Komunisme Internasional (Kominteren) adalah dua bentuk afiliasi partai politik nasional era awal abad ke-20.

Bagi MK RI, putusan ini kembali menunjukkan keberadaan dari 9 Hakim Konstitusi yang dikenal sebagai 9 Sulaiman. Sebutan the Nine Solomons itu lebih terarah kepada 9 Hakim Agung di pemerintahan federal Amerika Serikat. Namun bisa juga diadopsi di Indonesia.

Sebab tidak ada lembaga yudikatif lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan MK RI. Jumlah anak tangga Gedung MK RI lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga legislatif dan eksekutif, bahkan yudikatif lain.

MK RI juga terlibat dalam proses impeachment Presiden RI, tidak semata Kongres dan Senat sebagaimana terjadi di Amerika Serikat. Proses impeachment terhadap Presiden Korea Selatan yang tengah berlangsung juga menarik sebagai perbandingan.

Keberadaan 9 Sulaiman dalam tubuh MK RI ini mengalami krisis legitimasi dan demoralisasi, pasca Putusan MK RI Nomor 90/PUU-XXI-2023 tentang batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden RI. Butuh lebih dari satu tahun bagi 9 Sulaiman untuk kembali tampil dalam wajah imparsialnya.

Tak sekadar simbolik, tetapi berhasil mengejawantahkan filsafat ilmu pengetahuan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang sedang berubah. Masing-masing hakim konstitusi tidak lagi terlihat menggunakan kekuatan petir di tangan untuk saling menyambar dan membakar, tetapi saling sinergis guna memunculkan hujan guna kembali menghijaukan bumi yang makin tandus.

Yang mengherankan, sambutan dari partai-partai politik ternyata tidak gegap gempita, bahkan terkesan dingin-dingin saja. Padahal, hampir seluruh partai politik sangat dirugikan dengan ambang batas pencalonan presiden itu.

Partai Golkar, misalnya, tidak bisa menjalankan keputusan yang sudah diambil secara berjenjang untuk mencalonkan Ir Aburizal Bakrie dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden 2014.

Padahal Partai Golkar adalah partai pemenang pemilu legislatif dengan suara terbanyak kedua. Persiapan Partai Golkar juga sudah sangat matang. Hanya karena jumlah kursi legislatif nasional atau jumlah suara dalam pemilu legislatif secara nasional tak memenuhi syarat Presidential Threshold, Partai Golkar kehilangan kesempatan.

Situasi partai politik yang tidak menyambut baik putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 itu bisa jadi dari segi momentum, masih belum pas terkait dengan masa bulan madu dalam koalisi kepartaian di pemerintahan.

Tetapi, apabila putusan ini terjadi dalam waktu yang mendekati pemilihan presiden 2029, justru bakal memicu pergolakan politik yang luas. Ada semacam ‘konvensi’ atau kesepakatan tak tertulis betapa presiden yang dipilih secara langsung akan menjabat selama dua periode.

Tidak mudah memperjuangkan legacy hanya dalam satu periode. Jadi, kalau memang tidak terdapat situasi turbulensi politik yang serius, dampak signifikan putusan ini baru terasa menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden 2034.

Secara esensial, putusan MK RI bakal membuat kaum aktivis, analis, dan ilmuan progresif yang bergerak untuk tak lagi berposisi menghadap ke masa lalu, terikat tangan dengan silang sengkarut persekongkolan kalangan non republiken dan pemberhalakan pencapaian pembangunan yang didapat lewat manipulasi statistik.

Putusan MK RI ini justru menjadi energi positif untuk segera segera berbaris mengejar masa depan yang datang bagai kilatan cahaya. Masa lalu adalah demokrasi yang tak sepenuhnya bernilai kontrak sosial antara publik dan pejabat publik, melainkan publik tak banyak tahu atas isi dokumen perjanjian politik di tingkat elite yang melakukan kongsi.

Putusan MK RI ini juga potensial menghancurkan seluruh perjanjian jahat yang dibawa dari neraka, dan digantikan dengan teks-teks dari surga yang lebih suci yang berdasarkan kita-kita suci antar iman.

Minimal, apabila proses pencalonan presiden pada masing-masing partai politik berlangsung transparan, seluruh perjanjian dan bahkan janji-janji politik kandidat yang diusung bisa dibuat sedetail dan seterang-benderang mungkin.

Kelompok-kelompok sosial masyarakat yang bakal mendapatkan dampak dari kebijakan atau program dari calon presiden terpilih, juga sedini mungkin mengkonsolidasikan diri. Para pengacara rakyat sedari awal memagari hak-hak warga negara supaya tak mudah lagi menyerahkan harta dan benda mereka, tanah dan air mereka, bahkan raga dan nyawa mereka, demi kepentingan nasional apapun.

Organisasi politik, organisasi sosial, kelompok filantropis, korporasi, keagamaan atau olahraga yang selama ini bersifat dan berperilaku top down seolah dewa-dewi kehidupan manusia, bakal ditinggal rakyat jelata atau direbut secara revolusioner oleh rakyat akar umbi yang bersifat bottom up. Rakyat akan menjadi inti dari seluruh metode pendidikan kebangsaan.

Kurikulum pendidikan non pemerintah bisa saja lebih didengar, ketimbang kurikulum pemerintah yang lebih bersifat administratif. Pedagogi hitam yang berbasis kepada kurikulum pendidikan era kolonial dan berbau kapitalistik, bakal digantikan dengan pedagogi putih yang lebih mencerahkan bagi kemerdekaan seratus persen manusia Indonesia.

Era pemimpin yang merasa dewa (Raja adalah Anak Langit atau Sabdo Pandito Ratu) dengan segala mitologi usang bijak bestari, padahal sekadar bentuk dari Demon yang bersemayam dalam jiwa, pikiran dan naluri kuasa manusia, secara rasional lebih mudah disingkirkan.

Sebagaimana Nabi Sulaiman yang mampu mengendalikan angin, berselancar di atas ombak, berkomunikasi dengan jin dan hewan, serta sangat hormat kepada kerajaan semut, wajah para pemimpin di bumi nusantara bakal lebih terlihat membumi. Pemimpin dari kalangan rakyat biasa.

Yang biasa-biasa saja. Yang tak berubah menjadi manusia yang berbeda, ketika dipilih rakyat menjadi seorang presiden. Presiden yang manusiawi, tak merasa lebih tinggi dari rakyat yang dipimpinnya.

Proses ke arah itu sudah bisa dimulai, ketika Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 diucapkan dan diketok palu oleh Ketua MK RI Suhartoyo. Wallahu ‘alam.

* Balitbang DPP Partai Golkar; Nalar Konstitusi Circle dan Host MADILOG Forum Keadilan TV.

* Artikel ini sudah naik di laman Golkarpedia

 

 

spot_img

Ads Banner

Ads Banner

Ads Banner

Lihat Juga Tag :

Populer