MAKLUMAT — Kiai Haji Mas Mansur, tokoh besar Muhammadiyah, lahir di Surabaya, tepatnya di Kampung Baru, yang kini dikenal sebagai Kalimas Udik, pada 25 Juni 1896. Putra pasangan K.H. Mas Ahmad Marzuki dan Raudah ini berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya adalah ulama terkemuka di Jawa Timur, sementara ibunya seorang wanita kaya raya. Gelar “Mas” yang disandang Mas Mansur dan ayahnya menandakan keturunan ulama besar di daerah tersebut.
Keterlibatan KH Mas Mansur dalam organisasi ini menunjukkan komitmennya terhadap pembaruan pemikiran Islam dan perjuangan untuk kemajuan umat. Dia aktif dalam berbagai organisasi pergerakan, termasuk Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathon.
Taswirul Afkar, yang berarti “gagasan pemikiran”, merupakan sebuah perkumpulan yang dihimpun oleh para ulama besar pada masanya. Di antara tokoh-tokoh penting yang terlibat adalah KH Ahmad Dahlan Achyad, KH Wahab Chasbullah, KH Mas Mansur sendiri, KH Noer, serta banyak kiai lainnya yang tidak semuanya dapat disebutkan satu per satu dalam catatan sejarah yayasan tersebut.
Sejak kecil, Mas Mansur sudah menunjukkan bakat kepemimpinan. Ia sering bermain peran sebagai guru, mengatur bantal-bantal seolah-olah santri yang tengah mengaji. Pada usia 12 tahun, Mas Mansur menimba ilmu di Makkah selama dua tahun, lalu melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sekembalinya ke Tanah Air, pada 1916, ia menikah dengan Hajjah Siti Zakiyah, putri Haji Arif, yang merupakan tetangganya.
Bergabung dengan Muhammadiyah
Mas Mansur tertarik pada Muhammadiyah setelah sering mengikuti pengajian K.H. Ahmad Dahlan di Surabaya. Ketika Kiai Dahlan diundang mengisi pengajian di Masjid Taqwa, yang berdekatan dengan rumah Mas Mansur, Sukarno muda juga hadir dalam kesempatan itu. Perbincangan semalam suntuk antara Ahmad Dahlan dan Mas Mansur membuahkan langkah penting: pendirian Muhammadiyah Cabang Surabaya pada 1921, dengan Mas Mansur sebagai ketuanya.
Pada Kongres Muhammadiyah ke-26 tahun 1937, Mas Mansur terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah hingga 1943. Ia mengusulkan pembentukan Majelis Tarjih, lembaga yang membahas berbagai persoalan agama untuk menjaga kemurnian ajaran Islam.
Ide ini didasari kekhawatiran akan perpecahan di kalangan ulama akibat perbedaan pendapat dalam hukum Islam. Usul tersebut diterima dengan antusias dan menjadi dasar pengembangan pemikiran Islam di Muhammadiyah.
Di bawah kepemimpinan Mas Mansur, Persyarikatan Muhammadiyah memiliki panduan yang dikenal sebagai “Langkah Dua Belas,” rumusan strategis yang membimbing gerakan Muhammadiyah dari 1938 hingga 1940. Ia juga aktif dalam pengajian Malam Selasa di Gedung ‘Aisyiyah Kauman Yogyakarta, tempat tokoh besar seperti Jenderal Soedirman turut hadir.
Mas Mansur berkiprah di banyak organisasi politik, seperti Syarikat Islam, Partai Masyumi, dan GAPI. Selain itu, Mas Mansur bersama dengan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara, mereka dikenal sebagai tokoh empat serangkai.
Keterlibatannya dalam pergerakan kemerdekaan membuatnya menjadi sasaran penjajah. Pada masa pendudukan Belanda dan Sekutu, ia ditahan dan disiksa. Meskipun dijanjikan kebebasan jika mau menghentikan perlawanan rakyat Surabaya lewat siaran radio, Mas Mansur menolak dengan tegas.
Dalam kondisi lemah setelah penahanan kedua, ia wafat pada 24 April 1946 di Rumah Sakit Darmo Surabaya, tanpa ditemani keluarga. Atas jasanya yang besar, Mas Mansur dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Tingkat II pada 1965.
Warisan Intelektual
Selain sebagai pemimpin dan pejuang, Mas Mansur juga seorang penulis produktif. Ia mendirikan surat kabar Jinen dan majalah Suara Santri, yang menjadi media dakwah untuk membahas kemurnian ajaran Islam.
Buku-bukunya antara lain Hadits Nabawiyah, Syarat Syahnya Nikah, dan Risalah Tauhid.
Kiai Haji Mas Mansur adalah teladan sejati, ulama pembaru yang menolak kompromi dengan penjajah demi mempertahankan harga diri dan keyakinannya (MPI PP Muhammadiyah, 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi).***