MAKLUMAT — Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jawa Timur merespon soal polemik kepemilikan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang terjadi di wilayah perairan Surabaya-Sidoarjo seluas 656,85 hektare, serta Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land (SWL).
Dalam keterangan yang diterima Maklumat.ID pada Jumat (31/1/2025), DPD IMM Jawa Timur sebagai bagian dari elemen civil society merasa memiliki tanggung jawab moral dalam menjaga keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sebab itu, organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah di kalangan mahasiswa itu menyurati Menteri ATR/BPN untuk bertindak cepat menangani persoalan-persoalan tersebut.
Ketua DPD IMM Jawa Timur, Devi Kurniawan, menilai polemik soal SHGB ratusan hektare di wilayah Surabaya-Sidoarjo serta hadirnya PSN SWL itu sebagai suatu permasalahan serius yang berpotensi menimbulkan dampak negatif secara sosial, lingkungan hidup, maupun ketertiban atas hukum agraria di Indonesia.
Devi menekankan bahwa kebijakan agraria, terutama terkait penguasaan ruang laut, harus berpihak kepada kepentingan publik serta sesuai dengan prinsip keberlanjutan lingkungan. Pemuda asal Lamongan itu menegaskan komitmennya untuk terus mengawal isu-isu tersebut dan mendorong transparansi dalam proses hukum serta kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang laut.
“Harapannya, pemerintah dapat segera mengambil langkah tegas untuk mencabut SHGB yang bertentangan dengan hukum serta meninjau kembali kebijakan terkait pemanfaatan laut agar tidak merugikan masyarakat dan ekosistem yang ada,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (31/1/2025).
“DPD IMM Jatim juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mengawasi dan mengawal kebijakan yang berpotensi mengancam hak-hak publik dan keberlanjutan lingkungan,” imbuh Devi.
Sikap DPD IMM Jawa Timur
Menanggapi polemik tersebut Devi menyatakan sikap tegas DPD IMM Jawa Timur dalam lima butir poin, sebagai bentuk kontribusi dalam memberikan rekomendasi kebijakan yang berpihak kepada kepentingan publik dan kelestarian lingkungan.
Pertama, mendesak Kementerian ATR/BPN Republik Indonesia untuk mencabut Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) mengingat Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 yang menyatakan larangan pemberian HGB di ruang laut.
Kedua, berdasarkan penjelasan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid bahwa SHGB seluas 656,85 hektare dimiliki oleh 3 perusahaan diantaranya PT. Surya Intipermata seluas 285,16 hektare dan 219,31 hektare serta PT. Semeru Cemerlang seluas seluas 152,36 hektare. Kami mendesak adanya proses transparansi dalam proses penegakkan hukum terhadap SHGB di perairan Surabaya-Sidoarjo.
Ketiga, mendesak kepada Kementerian ATR/BPN untuk melakukan evaluasi terhadap SHGB maupun SHM yang ada di Seluruh Indonesia terkhusus di wilayah perairan. Sehingga kejadian seperti ini tidak terulang kembali dan merugikan masyarakat.
Keempat, apabila dalam proses penyelidikan terhadap SHGB yang muncul di perairan Surabaya-Sidoarjo ditemukan fakta hukum yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka kami mendesak agar Kementerian ATR/BPN dan aparat penegak hukum untuk memberikan sanksi tegas.
Kelima, selain adanya SHGB di perairan Surabaya-Sidoarjo, munculnya kebijakan PSN Surabaya Waterfront Land (SWL) yang berdiri diatas laut seluas 1084 hektare juga akan berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan.
“Selain itu, akan ada tumpang tindih secara hukum mengingat wilayah tersebut adalah Laut yang tidak boleh dimiliki secara privat termasuk dalam hal ini adalah PT Granting Jaya. Sehingga, kami mendesak Kementerian ATR/BPN untuk turut mengevaluasi dan memberikan masukan kepada Pemerintah RI sesuai wewenang kementerian,” pungkas Devi.