MAKLUMAT — Sebuah pernyataan tegas disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada rapat pimpinan TNI dan Polri yang digelar Kamis, 30 Januari 2025.
“Rakyat menggaji kalian. Rakyat melengkapi kalian dari ujung kaki sampai ujung kepala. Rakyat yang memberi makan tentara dan polisi serta memberikan kuasa untuk memegang monopoli senjata,” ujar Prabowo, seolah menegaskan kembali sebuah doktrin TNI dan Polri yang selama ini sudah dilupakan.
Pernyataan ini bukan sekadar kalimat tegas. Tetapi sebuah peringatan keras bagi seluruh aparat negara tentang siapa yang sebenarnya harus mereka layani, dan untuk siapa mereka bekerja.
TNI dan Polri, sebagai pilar utama dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara, sudah memahami bahwa kekuasaan yang mereka pegang adalah amanah dari rakyat.
Mereka tidak memegang kekuasaan atas dasar ketidakadilan, tetapi karena rakyat memberikan kepercayaan. Rakyat yang membayar pajak, rakyat yang menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan aparat untuk menjalankan tugas.
Rakyatlah yang memberikan mandat untuk melindungi, bukan malah untuk ditindas atau dimanfaatkan demi kepentingan pribadi.
Prabowo, seorang purnawirawan TNI yang sudah berpengalaman di medan pertempuran dan kepemimpinan pasukan elite, tidak sekadar memberikan peringatan.
Ia juga menyampaikan sebuah teguran keras, sekaligus kalimat perintah agar TNI dan Polri selalu mengingat tujuan utama mereka: menjadi pelayan rakyat, bukan alat kekuasaan yang bisa disalahgunakan.
Teguran keras dari Prabowo ini keluar pada momen yang tepat. Kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat keamanan sudah semakin sering terdengar, memantik kekecewaan masyarakat terhadap kinerja TNI dan Polri.
Rentetan Kasus Oknum TNI dan Polri
Ilyas Abdurrahman, bos rental tewas ditembak seorang prajurit TNI AL di rest area Km 45 Tol Tangerang-Merak arah Jakarta pada Kamis (2/1/2025) pukul 04.30 WIB.
Kejadian ini bermula ketika Ilyas dan timnya berusaha merampas kembali mobil Honda Brio berwarna oranye yang telah digelapkan oleh seorang penyewa bernama Ajat Sudrajat.
Upaya pengambilan kembali kendaraan tersebut memunculkan kejar-kejaran yang panjang, dimulai dari wilayah Pandeglang, Anyar, hingga berakhir di rest area Km 45.
Tujuh orang terlibat dalam penggelapan dan penembakan ini, terdiri dari empat warga sipil dan tiga prajurit TNI Angkatan Laut (AL). Dua warga sipil berinisial IH dan RH kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Kasus ini juga menyeret seorang Kapolsek yang diduga enggan memberi bantuan kepada Ilyas Abdurrahman. Kejadian ini mencoreng citra positif TNI dan Polri.
Jauh sebelum itu, masih segar dalam ingatan kita bagaimana keterlibatan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana. Kemudian ada polisi menembak mati siswa SMK di Semarang, dan perwira diduga meminta uang Rp20 miliar kepada dua tersangka di Polres Jakarta Selatan.
Dalam kasus terakhir, dua perwira menengah Polri, AKBP Bintoro dan AKBP Gogo Galesung diduga memeras tersangka, Arif Nugroho alias Bastian dan Muhammad Bayu Haryoto.
Kedua tersangka mengaku dimintai uang Rp20 miliar agar kasusnya dihentikan atau SP3. Polisi menyangka keduanya melakukan pembunuhan karena mencekoki seorang remaja putri hingga tewas overdosis pada 22 April 2024.
Tindakan-tindakan seperti ini menimbulkan pertanyaan besar. Sejauh mana aparat bisa diandalkan untuk menjaga moralitas dan keadilan? Dampak pelanggaran oknum TNI dan Polri itu terangkum pada hasil survei Kompas yang dirilis pada akhir Januari 2025.
Hasil Survei
Survei yang dilakukan pada 4-10 Januari 2025, melaporkan bahwa TNI mencatatkan citra tertinggi dengan 94,2 persen, menunjukkan tren kenaikan positif dari 89,8 persen pada Juni 2024 dan 91,9 persen pada September 2024.
Sementara itu, Polri menempati posisi terendah dengan hanya 65,7 persen, mengalami penurunan dibandingkan angka 73,1 persen pada Juni 2024. DPR juga mencatatkan citra yang lebih baik dengan 67,0 persen pada Januari 2025, meski belum cukup signifikan untuk mengangkat citranya.
Beberapa lembaga negara lainnya menunjukkan tren positif, seperti Mahkamah Agung (69,0 persen) dan Mahkamah Konstitusi (69,1 persen). Kejaksaan (70,0 persen), KPK (72,6 persen), DPD (73,6 persen), serta lembaga penyelenggara Pemilu, KPU (80,3 persen) dan Bawaslu (81,6 persen), juga memperoleh citra baik.
Dalam kondisi seperti ini, teguran Prabowo menjadi alarm bagi petinggi TNI dan Polri. Sudah waktunya mereka melakukan refleksi mendalam. Apakah ada yang salah dalam sistem perekrutan dan pembinaan? Ataukah ada kelemahan dalam sistem jenjang karier yang membuat penyimpangan semakin marak?
Pernyataan Prabowo bukan sekadar kritik, tetapi tamparan telak bagi institusi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat. Visi dan misi TNI-Polri sudah jelas: mereka ada untuk melayani dan mengayomi masyarakat. Rakyat hanya meminta satu hal—pelayanan dengan sepenuh hati. Sesederhana itu. Semoga TNI dan Polri mampu menjawab harapan tersebut.
*Penulis adalah wartawan senior yang tinggal di Kota Blitar, Jawa Timur