22.9 C
Malang
Senin, Februari 24, 2025
RagamFenomena #KaburAjaDulu, Pakar UM Surabaya: Pemerintah Tak Perlu Sinis

Fenomena #KaburAjaDulu, Pakar UM Surabaya: Pemerintah Tak Perlu Sinis

#KaburAjaDulu
Pakar UM Surabaya Radius Setiyawan menyebut bahwa hal ini merupakan ungkapan perasaan masyarakat atas dampak kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial, pendidikan dan keadilan di dalam negeri: Ilustrasi/ChatGPT.

MAKLUMAT — Tagar #KaburAjaDulu masih ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial. Fenomena ini, menurut Pakar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Radius Setiyawan, mencerminkan kekecewaan generasi muda terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dan keadilan.

“Kemunculan #KaburAjaDulu adalah bentuk ekspresi spontan atas situasi yang terjadi hari ini. Itu adalah manifestasi kemarahan, kekecewaan, keputusasaan, sekaligus protes yang disampaikan generasi muda kepada pemerintah melalui media sosial,” ujar Radius melansir laman UM Surabaya, Sabtu (22/2/2025).

#KaburAjaDulu
Radius Setyawan. Foto:UM Surabaya

Radius menyoroti ironi yang muncul ketika pemerintah merilis survei tingkat kepuasan 100 hari kerja yang mencapai 80 persen. Di saat yang sama, tagar #KaburAjaDulu justru menggema di dunia maya. Menurutnya, situasi ini merupakan anomali yang seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah.

“Pemerintah dengan bangga memamerkan rating kinerja yang tinggi, tetapi di sisi lain, ada fenomena sosial yang kontras. Ini sinyal kuat yang seharusnya tidak diabaikan,” tegasnya.

Bukan Soal Nasionalisme

Radius menolak anggapan bahwa tagar tersebut mencerminkan hilangnya nasionalisme di kalangan anak muda. Sebaliknya, ia melihat hal itu sebagai bentuk kecintaan mereka terhadap Indonesia.

“Saya kira ini berkaitan dengan efisiensi anggaran di sektor-sektor krusial, seperti pendidikan, energi, serta penanganan bencana dan krisis iklim. Ini bukan tentang nasionalisme yang luntur, melainkan ungkapan cinta yang disampaikan dengan cara yang berbeda,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa generasi muda saat ini sangat sadar akan disparitas global. Akses informasi yang luas membuat mereka memahami perbedaan kualitas hidup di berbagai negara, termasuk jaminan kesehatan, pendidikan, peluang kerja, dan kebebasan berekspresi.

Namun, Radius menyayangkan pernyataan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer yang menanggapi tagar tersebut dengan kalimat, “Kabur saja lah. Kalau perlu jangan balik lagi.”

“Pernyataan itu sangat kontra-produktif. Pemerintah seharusnya membangun komunikasi yang lebih konstruktif, bukan menanggapi dengan sikap antagonis,” katanya.

Ketidakpastian, Bukan Permanen

Menurut Radius, secara gramatikal, frasa “Kabur Aja Dulu” menegaskan bahwa keinginan untuk pergi itu bersifat sementara, bukan permanen.

“Ini lebih pada bentuk eskapisme dari ketidakpastian situasi. Ketika kondisi membaik, tentu mereka akan kembali. Ini justru cerminan keresahan publik, khususnya di kalangan Gen Z,” tuturnya.

Radius menegaskan bahwa tantangan terbesar pemerintah saat ini adalah memperbaiki komunikasi publik. Ia menilai, respons sinis terhadap bentuk ekspresi generasi muda hanya akan memperlebar jurang kepercayaan.

“Fenomena ini bisa jadi cerminan kegagalan pemerintah dalam menjelaskan konsep efisiensi anggaran. Padahal, efisiensi adalah hal yang lumrah diterapkan di banyak negara. Pemerintah perlu menyampaikan secara rasional: efisiensi ini untuk apa, manfaatnya apa, dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat,” paparnya.

Radius mencontohkan, jika efisiensi berarti memangkas anggaran perjalanan dinas, maka pemerintah harus menjelaskan pola baru yang diterapkan.

“Masyarakat kita rasional. Selama ada transparansi dan komunikasi yang baik, saya yakin mereka bisa menerima. Masalahnya, komunikasi pemerintah cenderung antagonis,” tambahnya.

Pendekatan yang Lebih Empatik

Berbeda dengan pernyataan Immanuel Ebenezer, Radius justru mengapresiasi sikap Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Dzulfikar Ahmad Tawalla. Dzulfikar memandang #KaburAjaDulu sebagai bentuk ekspresi anak muda yang tidak seharusnya direspons secara negatif.

“Dzulfikar justru menggarisbawahi bahwa fenomena ini seharusnya menjadi momentum untuk memberikan pemahaman tentang peluang kerja di luar negeri yang aman, terlindungi, dan terjamin. Bukan sekadar ‘kabur’, tetapi mempersiapkan diri dengan bekal yang cukup agar bisa sukses di negeri orang,” pungkas Radius.

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

Lihat Juga Tag :

Populer