
MAKLUMAT – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) akhirnya tumbang. Perusahaan tekstil raksasa ini resmi menghentikan operasionalnya per 1 Maret 2025 lalu. Keputusan ini mengantarkan 10.665 karyawan ke jurang pemutusan hubungan kerja (PHK), menyusul gelombang PHK bertahap sejak awal tahun.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, Januari lalu, 1.065 karyawan lebih dulu terkena PHK. Bulan berikutnya, gelombang lebih besar datang: 9.600 pekerja harus angkat kaki. Penutupan ini mencakup empat entitas di bawah Sritex: PT Sritex Sukoharjo, PT Bitratex Semarang, PT Sinar Pantja Djaja Semarang, dan PT Primayudha Boyolali.
Sehari sebelum penutupan, halaman pabrik di Sukoharjo penuh sesak. Ribuan pekerja berkumpul, menyalami satu sama lain dan jajaran direksi. Isak tangis mengiringi perpisahan. Di media sosial, unggahan bernada kehilangan membanjiri linimasa. “Dua puluh tiga tahun saya di sini, dan kini berakhir begitu saja,” tulis Sri Lestari, salah satu pegawai Sritex sejak 2001.
Mengurai Benang Kusut Kebangkrutan
Keambrukan Sritex bukan kejutan instan. Ekonom Universitas Muhammadiyah Surakarta, Prof. Anton Agus Setyawan, menyebut beberapa faktor utama yang menggerogoti perusahaan. Salah satunya, dominasi produk impor yang menekan industri tekstil nasional. Sejak 2004, tanda-tanda kemerosotan industri ini sudah terlihat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kontribusi sektor tekstil terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) merosot dari 1,41 persen pada 2010 menjadi 0,99 persen pada 2024.
Ketergantungan industri tekstil nasional terhadap bahan baku impor juga memperparah kondisi. “Biaya produksi jadi lebih tinggi, sementara harga jual harus bersaing dengan produk luar yang lebih murah,” kata Anton melansir laman UMS. Ditambah regulasi yang dinilai tidak mendukung industri manufaktur, situasi ini menjadi kombinasi maut bagi Sritex.
“Kebijakan yang terlalu longgar dalam mengatur impor tekstil membuat produk dalam negeri terjepit. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, misalnya, justru membuka kran impor lebih lebar tanpa mempertimbangkan industri lokal,” ujarnya.
Dampak Berantai
Tumbangnya Sritex bukan sekadar tragedi bagi karyawan. Ekosistem industri tekstil ikut terguncang. Pemasok bahan baku kehilangan pasar, usaha kecil yang bergantung pada pabrik ini terancam gulung tikar. Di Sukoharjo, pemilik warung makan hingga toko kelontong mulai merasakan penurunan omzet drastis.
Pemerintah sebenarnya sempat menimbang skema bailout bagi Sritex di penghujung 2024. Namun, hingga pabrik benar-benar tutup, bantuan itu tak kunjung datang.
“Ini sinyal buruk bagi investor,” kata Anton. “Mereka tentu berpikir ulang untuk menanamkan modal di Indonesia jika industri sebesar Sritex saja dibiarkan mati.”
Kini, ribuan eks-karyawan Sritex menghadapi ketidakpastian, sementara industri tekstil nasional masih mencari cara untuk bertahan dari gempuran produk impor dan dinamika kebijakan global.