22.4 C
Malang
Senin, Maret 10, 2025
KilasProf. Muhadjir Effendy dan Mimpi yang Tertinggal di Barak Tentara

Prof. Muhadjir Effendy dan Mimpi yang Tertinggal di Barak Tentara

Prof. Muhadjir Effendy
Foto dokumentasi Prof. Muhadjir Effendy saat menjalankan tugas sebagai Menko PMK. Foto:IST

MAKLUMAT — Prof. Muhadjir Effendy, nama yang lekat dengan dunia pendidikan dan kebudayaa. Nama besarnya sempat menempati posisi strategis sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Belakangan, ia juga mengemban amanah baru: Penasihat Presiden Bidang Haji di pemerintahan Presiden Prabowo.

Namun, ada sisi lain dari pria kelahiran Madiun ini yang jarang diketahui publik. Saat remaja, Muhadjir pernah bercita-cita menjadi tentara. Mimpi itu memang tak kesampaian, tetapi pemikirannya tentang militer tetap mengalir, tertuang dalam buku yang ia tulis, “Profesionalisme Militer: Profesionalisasi TNI”.

Buku ini bukan sekadar kajian akademik, melainkan jejak pemikiran seorang intelektual yang mengamati dinamika transformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari waktu ke waktu. Muhadjir menelusuri bagaimana TNI berusaha menjadi institusi yang profesional—bukan sekadar dari sisi teknis dan modernisasi alutsista, tetapi juga dari aspek kepemimpinan, etika, dan kedisiplinan.

Sejarah panjang profesionalisme TNI diurai dengan cermat. Dari akar pembentukannya yang berasal dari tiga elemen utama: eks-Pembela Tanah Air (PETA), eks-KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger), dan satuan gerilya.

Ketiganya membawa warisan yang berbeda, terkadang berbenturan, tetapi justru di situlah terbentuk karakter unik militer Indonesia. Pada masa Orde Baru, TNI menjalankan doktrin dwifungsi—tak hanya sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga aktor politik dan ekonomi. Struktur ini menguatkan militer dalam kekuasaan, tetapi juga mengaburkan batas antara militer dan sipil.

Titik Balik

Reformasi 1998 menjadi titik balik. TNI mulai kembali ke khitahnya sebagai alat pertahanan negara yang netral secara politik. Lahirlah Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menegaskan bahwa tentara harus profesional, tidak berbisnis, tidak berpolitik, dan tunduk pada supremasi sipil. Namun, Muhadjir tak sekadar melihat peraturan di atas kertas. Ia menyoroti bahwa profesionalisme bukan hanya soal aturan atau peralatan canggih, melainkan juga mentalitas prajurit.

Dalam buku ini, Muhadjir memperkenalkan Diagram Pentagonal Profesionalisme TNI, sebuah kerangka yang terdiri dari lima elemen utama: kemampuan, kepemimpinan, motivasi, kesempatan, dan pengetahuan. Ia menekankan bahwa menjadi tentara profesional tak cukup hanya terlatih dan bersenjata modern, tetapi juga memiliki etos, dedikasi, dan komitmen terhadap demokrasi.

Tantangan profesionalisasi TNI pun tak luput dari sorotannya. Reformasi telah berjalan lebih dari dua dekade, tetapi kontrol sipil terhadap militer masih menghadapi hambatan. Pendidikan militer yang belum merata, kebijakan yang kerap inkonsisten, hingga tarik-menarik kepentingan dalam isu keamanan domestik masih menjadi pekerjaan rumah.

Meski TNI telah dilarang berbisnis dan berpolitik, masih ada pertanyaan tentang peran mereka dalam urusan sipil. Di titik ini, Muhadjir mengajak pembaca untuk berpikir: seberapa jauh reformasi militer telah membawa perubahan nyata?

Buku ini bukan hanya bacaan bagi akademisi dan pengamat militer, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin memahami dinamika hubungan sipil-militer di Indonesia. Dengan pendekatan historis dan analisis mendalam, Muhadjir Effendy menghadirkan refleksi yang tajam tentang profesionalisme TNI.

Sebuah bacaan yang mengajak berpikir, menimbang, dan merenungkan masa depan militer Indonesia dalam lanskap demokrasi yang terus berubah.

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL LAINNYA

Populer