
MAKLUMAT — Mudik Lebaran telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Indonesia. Setiap tahun, jutaan perantau kembali ke kampung halaman untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Fenomena ini bukan sekadar tradisi, tetapi juga mencerminkan eratnya ikatan kekeluargaan yang telah berlangsung sejak era kolonial Belanda.

Dalam sebuah diskusi yang digelar oleh Majelis Tabligh PWM Jawa Timur, Wakil Ketua PWM Jawa Timur, Tamhid Masyhudi, dan Ketua Divisi Pengembangan Mubaligh Majelis Tabligh Jatim, KH Drs. Nadjih Ihsan, membahas sejarah serta makna mudik. Acara ini berlangsung di Gedung PWM Jatim pada Jumat (21/3/2025).
Tamhid Masyhudi menjelaskan bahwa tradisi mudik berawal dari kebiasaan para saudagar dan pekerja laut di masa lalu. Setelah menempuh perjalanan dagang atau bekerja di berbagai kota, mereka kembali ke kampung halaman untuk bersilaturahmi dengan keluarga.
“Anak-anak sekarang bahkan sudah lebih dulu pulang ke kampung halaman. Ini menarik, karena mudik telah menjadi tradisi turun-temurun,” ujar Tamhid.
Pada akhir abad ke-18, pemerintah kolonial Hindia Belanda menjalankan program pemerataan populasi di sektor perkebunan, pertanian, dan industri. Warga dari daerah padat penduduk dipindahkan ke berbagai wilayah, termasuk luar Pulau Jawa. Misalnya, di Banyuwangi terdapat komunitas perantau dari Bantul dan Kulonprogo yang telah menetap sejak awal abad ke-19.
“Mereka membawa pemikiran Muhammadiyah, sehingga setiap Lebaran, mereka mudik ke Kulonprogo,” tambahnya.
Pola perpindahan penduduk ini berlanjut pada era pemerintahan Presiden Soeharto melalui program transmigrasi. Warga dari Pulau Jawa dikirim ke luar Jawa untuk membuka lahan dan mengembangkan daerah baru.
Akibatnya, banyak desa di Lampung dan Sumatera Utara yang dinamai sesuai dengan kampung halaman mereka di Jawa. Fenomena ini melahirkan istilah Puja Kesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera).
Seiring waktu, mudik bukan hanya sekadar perjalanan pulang, tetapi juga menjadi ajang berbagi dengan keluarga di kampung halaman, yang berdampak pada perekonomian.
“Mudik menggerakkan lebih dari 100 juta orang setiap tahun. Di balik tradisi ini, ada praktik berbagi, mendistribusikan zakat fitrah, serta mempererat tali silaturahmi,” kata Tamhid.
Menariknya, fenomena mudik hanya terjadi di Indonesia.”Di negara-negara Timur Tengah, tradisi ini tidak ditemukan,” ujar Tamhid. Ia pun berpesan, “Selamat menjalankan ibadah. Hati-hati dalam perjalanan mudik.”
Makna Mudik dari Perspektif Islam
KH Drs. Nadjih Ihsan menambahkan bahwa mudik merupakan kegiatan orang rantau yang kembali ke kampung halaman. Menurutnya, Islam masuk ke Nusantara dengan pendekatan damai, sehingga nilai-nilai kebersamaan dan silaturahmi menjadi bagian dari kehidupan Muslim di Indonesia.
“Momentum puasa dan Idul Fitri adalah saat yang tepat untuk pulang dan menengok sanak saudara,” katanya.
Ada beberapa tujuan mudik, di antaranya:
- Menjalin Silaturahmi – Mudik mendorong interaksi sosial dan mempererat hubungan kekeluargaan.
- Ziarah Kubur – Mengingat dan mendoakan leluhur.
- Rindu dan Nostalgia – Mengenang masa kecil di kampung halaman.
- Unjuk Diri atau Flexing – Beberapa orang ingin menunjukkan keberhasilan mereka di kota besar.
Mudik juga memiliki manfaat, seperti mempererat hubungan dengan tetangga, menjaga persaudaraan, serta memberikan pengalaman kultural bagi generasi muda.
Dari sudut pandang tauhid, mudik memiliki arti penting karena mengandung nilai birul walidain, yakni berbuat baik kepada orang tua. Meski orang tua yang sudah meninggal tidak meminta apa pun, kewajiban berbakti tetap harus dijalankan. Dalam Islam, kepemilikan harta juga mengajarkan pentingnya berbagi, baik dalam keadaan lapang maupun sempit.
“Hakikat kepemilikan sangat penting bagi pemudik. Jika mereka memahami konsep ini, mereka akan lebih ringan tangan dalam bersedekah,” jelas Nadjih Ihsan.
Mudik juga menjadi kesempatan untuk introspeksi. Seorang pemudik bisa merenungkan perjalanan hidupnya—dari awal merantau hingga mencapai posisi saat ini. Perjalanan ini mengingatkan bahwa status sosial dan ekonomi yang lebih baik adalah bagian dari anugerah Allah yang patut disyukuri.
Selain itu, tradisi mudik juga menjadi momen untuk meminta maaf kepada saudara dan orang-orang terdekat.
“Dalam bahasa Jawa, kita mengenal ungkapan ‘ngaturaken sedoyo kalepaten kulo’ atau ‘mohon maaf lahir dan batin’. Semoga tradisi ini tetap memberikan manfaat bagi kita semua,” pungkasnya.
Mudik bukan sekadar perjalanan, tetapi juga bagian dari identitas sosial masyarakat Indonesia. Setiap tahunnya, perjalanan panjang menuju kampung halaman menjadi bukti kuatnya hubungan keluarga dan semangat berbagi yang terus terjaga.***