
MAKLUMAT — Meski telah wafat lebih dari seratus tahun yang lalu, nama RA Kartini masih hidup dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia. Namun, tidak cukup hanya hidup di ingatan, perjuangannya harus dilanjutkan dan diwujudkan dalam tindakan nyata. Semangat itu tercermin dari upaya Wardiman Djojonegoro melalui sebuah trilogi mengenai Kartini.
“Saya tergerak, terutama cita-cita dan renungan Kartini itu bisa diteruskan, khususnya kepada kaum muda,” ceritanya saat mengisi acara Bedah Buku Seri Ketiga, Inspirasi Kartini dan Kesetaraan Gender di Indonesia yang diselenggarakan di Aula Sasadu Gedung M Tabrani, Jakarta Timur (22/4/2025).
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tersebut, Wardiman menceritakan bagaimana awal mula kekagumannya pada perjuangan Kartini.
Tepatnya saat menempuh pendidikan jenjang SMP di Kota Surabaya pada tahun 1950-an, Wardiman menemukan sebuah buku berbahasa Belanda. Buku itu berisikan kumpulan surat Kartini yang dibukukan oleh JH Abendanon.
Bacaan itu membuatnya tak hanya terharu, tetapi juga merasa sangat kagum terhadap sosok dan kecerdasan yang dimiliki oleh Kartini. Ada kesan mendalam saat pertama kali ia membaca buku tersebut. “Saya berlinang-linang lah waktu membaca itu,” imbuhnya.
Orang yang Paling Banyak Mengumpulkan Surat Kartini
Pemikiran Kartini, salah satunya tertuang melalui buku berjudul Door Duisternis Tot Licht alias Habis Gelap Terbitlah Terang. Abendanon adalah sosok yang membukukan surat-surat Kartini tersebut. Buku ini memuat 105 surat Kartini dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1911.
Tidak mau kalah, Wardiman juga membuat karya mengenai Kartini. “Motivasi saya karena apa? Surat Kartini yang terbanyak itu (dikumpulkan) oleh orang Belanda. Saya bilang, masak orang Indonesia, yang mengangungkan orang Belanda. Harus orang Indonesia juga, dong,” ujarnya.
Surat-surat Kartini dalam karya Wardiman bahkan lebih banyak dari apa yang dipublikasikan oleh Abendanon. Buku Wardiman yang pertama dalam trilogi Kartini bersikan 179 surat dari sekitar 400 surat yang pernah ditulis oleh Kartini.
Sejauh ini, Wardiman telah menulis tiga buku bertajuk trilogi Kartini. Jilid I berjudul Kartini, Kumpulan Surat-surat 1899-1904. Jilid II berjudul Kartini: Hidupnya, Renungannya, dan Cita-citanya. Jilid III berjudul Inspirasi Kartini dan Kesetaraan Gender Indonesia.
Surat-surat Kartini diakui UNESCO
Pada momen ini, Wardiman juga mengucapkan rasa syukurnya sebab surat-surat Kartini sudah mendapat pengakuan dunia. Surat-surat tersebut telah masuk dalam daftar Memory of the World (MoW) oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Melansir siaran pers yang dirilis UNESCO pada Kamis (17/4/2025), disebutkan bahwa surat-surat Kartini telah resmi dimasukkan ke dalam daftar MoW bersama 73 entri lainnya yang diusulkan oleh berbagai negara. Penetapan ini dilakukan pada Jumat (11/4/2025) dalam Sidang Dewan Eksekutif UNESCO ke-221 yang berlangsung di Kota Paris, Prancis.
MoW sendiri adalah program internasional yang digagas oleh UNESCO sejak tahun 1992. Tujuannya adalah untuk melestarikan warisan dokumenter dunia -seperti naskah kuno, arsip penting, surat-surat bersejarah, rekaman, dan dokumen lainnya- yang dianggap memiliki nilai penting bagi umat manusia.
Dengan masuk ke dalam MoW sebuah dokumen atau arsip akan diakui sebagai warisan dokumenter yang sangat berharga, dan diharapkan mendapat perlindungan serta perhatian lebih dari masyarakat internasional agar tidak hilang, rusak, atau dilupakan.
Pengajuan surat-surat Kartini itu dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) bekerja sama dengan National Archives of the Netherlands dari Universitas Leiden, Belanda. Dalam proses pengajuan itu, Wardiman sendiri terlibat sebagai dewan pakar. “Syukur alhamdulillah, minggu lalu UNESCO telah menerima surat-surat Kartini untuk diabadikan dalam MoW atau ingatan dunia,” ucapnya.
Menjaga Relevansi Pemikiran Kartini
Wardiman menjelaskan bahwa melalui bukunya yang ketiga ini, ia mencoba menjelaskan pemikiran Kartini agar tetap relevan dengan masa kini. Pada buku ini, ada berbagai topik mengenai isu kesetaraan gender di Indonesia. Salah satu yang dibahas adalah mengenai perempuan dan ekonomi, dimana masih ada ketimpangan di dalamnya.
“Lalu pelayanan kesehatan bagi perempuan, khususnya untuk Ibu dan anak. Kalau di kota mungkin bagus. Tapi kalau kita ke desa-desa, ke pelosok, maka sangat menyedihkan. Di dalam statistik, kematian ibu dan anak sangat tinggi,” tambahnya.
Buku ini juga menyoroti isu pendidikan, khususnya bagi perempuan. Meskipun kemajuan pendidikan perempuan sudah cukup signifikan, masih terdapat sejumlah aspek yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Mulai dari pemilihan subjek pembelajaran yang lebih beragam hingga minimnya jumlah peneliti perempuan.
Berbagai stereotipe yang dilekatkan pada perempuan dalam konteks budaya patriarki juga dibahas di dalam buku ini. Wardiman menekankan pentingnya pendalaman terhadap topik tersebut. “Perlu diteliti, dibahas, dan bagaimana mengatasinya,” imbuhnya.
Penguatan partisipasi politik perempuan juga tak lepas dari topik pembahasan buku ini. Masih sangat banyak tantangan yang dihadapi. Wardiman menyampaikan bahwa semua elemen, khususnya partai politik harus menaruh kepedulian lebih untuk meningkatkan partisipasi perempuan.
Kepedulian itu ada banyak bentuknya, salah satunya adalah persepsi waktu antara laki-laki dan perempuan. “Partai-partai politik kalau rapat selalu malam. Sampai jam 12 malam. Ini yang sukar diterima oleh para perempuan. Jadi kita harus mencari solusi untuk itu,” ujar laki-laki kelahiran Pamekasan, 22 Juni 1934 tersebut.
Masih banyak aspek yang dibahas dalam buku ini. Salah satunya adalah sorotan Wardiman terhadap pentingnya penguatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Ia juga mengungkapkan bahwa hingga saat ini masih terdapat lebih dari 400 peraturan daerah yang mengandung bias gender.
Sosok yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1993 hingga tahun 1998 itu berharap agar melalui buku ini, kesetaraan gender di Indonesia lebih meningkat. “Tujuan saya dalam menulis buku ini adalah agar bertambah aktivis-aktivis, baik perempuan dan laki-laki, untuk meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia,” pungkasnya.
____________
Penulis: M Habib Muzaki