
MAKLUMAT – Pengusulan nama Presiden Republik Indonesia ke-2, yakni Jenderal Besar TNI (Purn) HM Soeharto untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional menuai pro dan kontra. Hal ini tak terlepas dari tidak sedikitnya kebijakan buruk dan peristiwa kelam yang terjadi pada masa pemerintahannya, yang dikenal sebagai Orde Baru (Orba). Di sisi lain, sosoknya juga dianggap punya jasa yang besar bagi bangsa.
Soeharto diusulkan bersama sembilan nama lainnya ke dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025 oleh Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Adapun anggota TP2GP yang terdiri dari Staf Ahli, akademisi, budayawan, perwakilan BRIN, TNI, serta Perpustakaan Nasional.
Dilansir dari laman resmi Kementerian Sosial (Kemensos), sembilan nama lain bersama Soeharto adalah K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jenderal Soeharto, K. H. Bisri Sansuri, Idrus bin Salim Al-Jufri, Teuku Abdul Hamid Azwar, K. H. Abbas Abdul Jamil, Anak Agung Gede Anom Mudita, Deman Tende, Midian Sirait, dan K. H. Yusuf Hasim.
Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menjelaskan bahwa usulan untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional berasal dari Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi. Dalam konteks ini, Luthfi menyampaikan aspirasi yang diterimanya dari para bupati, wali kota, serta masyarakat.
Mensos Gus Ipul memaparkan bahwa mekanisme pengusulan nama untu Pahlawan Nasional telah melalui tahapan berjenjang dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat. “Jadi memenuhi syarat melalui mekanisme. Ada tanda tangan Bupati, Gubernur, itu baru ke kita. Jadi memang prosesnya dari bawah,” ujarnya.
Menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional, seseorang yang diajukan untuk mendapat gelar tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan umum dan khusus. Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Suwignyo, menyampaikan bahwa Soeharto memang memenuhi syarat untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional. Dari sisi kontribusi pada kemerdekaan, hal itu tidak ada masalah.
“Kalau melihat kriteria dan persyaratan sebagai pahlawan nasional, nama Soeharto memang memenuhi kriteria tersebut. Namun tidak bisa juga mengabaikan fakta sejarah dan kontroversinya di tahun 1965,” ujar Agus dilansir dari laman resmi UGM.
Agus memaparkan bahwa ada kontribusi penting Soeharto dalam perjuangan kemerdekaan. Selama karier militernya, Soeharto terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil merebut kembali Yogyakarta dari kekuasaan kolonial. Selain itu, pada tahun 1962, Soeharto ditunjuk sebagai Panglima Komando Mandala dalam operasi pembebasan Irian Barat.
Menurut Agus, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dapat menimbulkan respons negatif dari masyrakat, mengingat rekam jejak Soeharto terkait pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan pers. Karena itu, ia menyarankan perlu adanya pengkhususan dan kategorisasi jika tetap memberikan gelar pahlawan nasional pada Soeharto.
“Penulisan sejarah itu harus memperhatikan konteks, ya. Jadi semisal ada kategori pahlawan nasional dalam bidang tertentu, sehingga bisa diberikan gelar namun dalam konteks dan catatan,” jelasnya.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden RI sekaligus Menteri Sekretaris Negara (Menesneg), Prasetyo Hadi menganggap usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional sebagai sesuatu yang lumrah. Menurutnya, mantan kepala negara memiliki peran dan kontribusi besar dalam perjalanan sejarah bangsa. Karena itu, ia menilai bahwa tidak terdapat kekeliruan dalam pengajuan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
“Menurut kami, mantan-mantan presiden itu sudah sewajarnya untuk mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara. Jangan selalu melihat yang kurangnya, kita lihat prestasinya,” ujarnya di Jakarta, Senin (21/4/2023).
Menanggapi pernyataan Prasetyo Hadi, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakannya sebagai sesuatu yang ahistoris dan tidak sensitif terhadap perasaan korban-korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi selama Orba. Terlebih, keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu, hingga hari ini masih mendambakan keadilan yang tak kunjung datang.
“Ketimbang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan, pemerintah seharusnya fokus menunaikan komitmen untuk mengusut berbagai pelanggaran berat HAM selama era Soeharto yang telah diakui negara lewat berbagai TAP MPR pada awal reformasi hingga pernyataan Presiden pada Januari 2023,” tegasnya sebagaimana dilansir dari laman resmi Amnesty International Indonesia (22/4/2025).
Ia juga menegaskan bahwa usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional mencederai amanat reformasi yang memandatkan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi selama 32 tahun Soeharto memimpin Indonesia dengan tangan besi. Ada peranan Soeharto dalam kekerasan negara yang bersifat sistematis terhadap rakyatnya, pembredelan media massa, pelanggaran berat HAM, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terstruktur. Pengusulan tersebut dipandang sebagai bentuk pengaburan sejarah dan penghapusan jejak kejahatan masa lalu.
“Di antaranya, Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Penyerangan kantor PDI 27 Juli 1996, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II 1998-1999, kejahatan kemanusiaan di Aceh, Timor Timur, Papua dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum diusut tuntas oleh negara,” imbuhnya.
____________
Penulis: M Habib Muzaki