MAKLUMAT – Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kembali memperkuat langkah internasionalisasinya. Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP-UMM menggelar workshop bertajuk Program Internship dengan Perguruan Tinggi Luar Negeri pada 24 April lalu. Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya kampus mewujudkan visinya sebagai institusi berpengakuan internasional.
Ketua Prodi Kesejahteraan Sosial, Dr. Fauzik Lendriyono, menjelaskan bahwa pengembangan institusi mengacu pada tiga dokumen utama yakni Statuta, Rencana Operasional (Renop), dan Indikator Kinerja Turunan (IKT).
“Ketiga dokumen itu, lanjutnya, sudah disusun secara sistematis dan saling berkaitan. Di mana keselarasan dokumen ini menjadi fondasi utama untuk mendorong target-target internasionalisasi UMM,” ujarnya.
Fauzik juga menyebut workshop ini sebagai momen evaluasi kerja sama internasional, khususnya dengan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Kerja sama kedua institusi sudah berjalan empat tahun.
Kesiapan Menuju World Class University
Kebetulan, pada 11 April lalu, 11 orang dari dekanat FSSK UKM datang ke UMM melakukan kunjungan resmi. Pertemuan itu menghasilkan sejumlah kesepakatan, salah satunya pengiriman enam mahasiswa UKM.
Kehadiran mahasiswa UKM ini untuk menjalani praktikum selama dua bulan di Jawa Timur, bersama mahasiswa Kesejahteraan Sosial UMM. Sebaliknya, UMM juga akan mengirim mahasiswa tahap kedua ke Malaysia.
Wakil Rektor II UMM, Dr. Ahmad Juanda, menyoroti kesiapan internal kampus. Menurutnya, sumber daya manusia, ekonomi, dan infrastruktur harus siap untuk mendukung internasionalisasi. Ia juga mengusulkan agar istilah “akreditasi internasional” diperluas menjadi “rekognisi internasional.
“Alasannya, pengakuan global seharusnya tak sebatas formalitas, melainkan wujud pencapaian konkret. Untuk menuju World Class University bukan sekadar label. Perlu langkah nyata sebelum pengakuan formal datang,” katanya.
Perbedaan Internasionalisasi
Senada dengan itu, Wakil Rektor IV, Muhammad Salis Yuniardi, menggarisbawahi perbedaan pendekatan internasionalisasi antara kampus dalam negeri dan luar negeri. Di luar negeri, fokus utama pada dua hal, pengajaran dan penelitian. Sementara di Indonesia, kampus masih menyertakan pengabdian masyarakat sebagai pilar ketiga.
UMM, menurut Salis, sudah mulai mengadaptasi kurikulum berbasis internasional melalui pendekatan outcome based education (OBE). Tujuannya agar mahasiswa punya wawasan global dan kompetensi secara internasional. Ia juga menekankan pentingnya mobilitas internasional bagi mahasiswa dan dosen.
“Bisa lewat short course dua minggu sampai sebulan, kemudian berakhir dengan konferensi internasional,” jelasnya.
Bisa Hasilkan Double Degre
Program lain yang dalam proses pematangan adalah credit transfer, atau kuliah satu semester penuh di luar negeri, kemudian mirroring class atau perkuliahan dengan dosen dari dua universitas yang saling bertukar selama 14 pertemuan. Terakhir double degree, di mana mahasiswa menempuh dua tahun studi di UMM dan dua tahun di kampus mitra luar negeri.
UMM juga terus membangun atmosfer internasional di dalam kampus. Salah satunya melalui program foreign language for specific purposes (FLSP). Program ini membiasakan mahasiswa berinteraksi dalam forum internasional. Di sisi lain, kampus juga aktif mendorong dosen dan mahasiswa terlibat dalam konferensi dan publikasi internasional, bahkan menjadi reviewer jurnal-jurnal luar negeri.
Internasionalisasi, bagi UMM, bukan slogan kosong. Ia dibangun lewat sistem, kerja sama konkret, dan kesiapan seluruh elemen kampus untuk tampil di panggung global.