MAKLUMAT – Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald J. Trump yang menaikkan tarif impor untuk sejumlah negara mitra dagangnya kembali menuai sorotan. Langkah proteksionis ini dinilai mengganggu stabilitas perdagangan internasional dan menimbulkan efek domino terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ketua Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional PP Muhammadiyah, Imam Addaruqutni, dalam wawancara eksklusif dengan laman Muhammadiyah pada Sabtu (26/4), menyebut bahwa kebijakan tarif tersebut masuk dalam skema hubungan antar pemerintah (government to government/G to G) yang dampaknya berskala global.
Menurut Imam, keputusan Trump sejatinya sejalan dengan slogan politiknya, Make America Great Again (MAGA), yang menargetkan pemulihan dominasi ekonomi AS. Salah satu faktor utamanya adalah defisit perdagangan AS dengan China, terutama di sektor manufaktur dan teknologi tinggi.
“Barang impor dari China yang masuk ke pasar Amerika, khususnya produk hi-tech dan manufaktur, jauh lebih besar dibandingkan ekspor Amerika ke China. Produk China dikenal murah dan kini kualitasnya juga makin baik. Amerika merasa tidak mendapatkan keadilan dalam perdagangan ini,” ujar Imam Addaruqutni.
Imam juga menyinggung pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, terkait pembahasan hambatan non-tarif (non-tariff barriers) dengan Amerika Serikat. Ia menilai pembanjiran produk China ke pasar global, termasuk ke Indonesia, turut memicu persoalan seperti pembajakan hak kekayaan intelektual.
“Pembajakan hak cipta dan hak kekayaan intelektual sangat merugikan, terutama bagi negara seperti Amerika yang sangat menjaga itu. Maka Indonesia pun harus tegas dalam menanggapi isu ini,” katanya.
Lebih lanjut, Imam memperingatkan bahwa kebijakan sepihak Amerika justru bisa menjadi bumerang bagi negaranya sendiri. Ia menilai jika tidak hati-hati, AS bisa mengalami kesulitan mengekspor produknya karena reaksi balasan dari negara mitra dagang seperti China.
“Ini bisa jadi simalakama untuk Amerika sendiri. Saat mereka memperketat pasar, negara lain seperti China pun membalas dengan menaikkan tarif impor atas produk Amerika. Alhasil, eksportir mereka juga terjepit,” jelasnya.
Di akhir pernyataannya, Imam menekankan pentingnya kerja sama dan pendekatan persuasif antarnegara demi menjaga keseimbangan dan stabilitas ekonomi global. Ia mengingatkan bahwa dominasi sepihak dalam perdagangan dunia hanya akan menciptakan ketimpangan.
“Jangan sampai ada hegemoni tunggal dalam kekuatan ekonomi global. Dunia perlu keseimbangan. Maka dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang persuasif agar tercipta keadilan bersama,” tutupnya.***