Viral Minuman Pororo, Jadikan sebagai Alarm Sadar Halal dan Audit Berbasis Sains

Viral Minuman Pororo, Jadikan sebagai Alarm Sadar Halal dan Audit Berbasis Sains

MAKLUMAT — Belum genap satu bulan sejak masyarakat Indonesia dikejutkan dengan hasil uji laboratorium yang menemukan 7 dari 9 produk bersertifikat halal ternyata positif mengandung DNA babi, kini publik kembali dihebohkan oleh viralnya video di media sosial terkait minuman Pororo asal Korea Selatan. Minuman berlabel halal itu, ternyata pada kemasannya juga tertulis mengandung babi. Masyarakat pun mempertanyakan, bagaimana mungkin produk berlabel halal mengandung babi?

Kasus minuman Pororo ini bukan hanya menjadi viral, tetapi juga menimbulkan kegelisahan sekaligus kebingungan di tengah masyarakat muslim Indonesia. Hal ini mengingatkan kita bahwa label halal tidak selalu menjamin kehalalan mutlak, terutama dalam konteks perdagangan global dan perbedaan standar sertifikasi antarnegara.

Hati-Hati Bahan Tambahan

Minuman Pororo asal Korea Selatan viral di media sosial, lantaran minuman yang berlabel halal itu, ternyata pada kemasannya juga tertulis mengandung babi.
Minuman Pororo asal Korea Selatan viral di media sosial, lantaran minuman yang berlabel halal itu, ternyata pada kemasannya juga tertulis mengandung babi.

Pororo adalah merek minuman populer dari Korea Selatan yang banyak dikonsumsi anak-anak. Pada kasus ini, dugaan kandungan babi kemungkinan tidak berasal dari bahan utamanya, melainkan dari bahan tambahan (food additives) seperti pewarna, perisa, pengemulsi, atau pemanis. Salah satu contoh adalah penggunaan gelatin atau glycerol yang dapat berasal dari babi atau sapi non-halal. Dalam kajian ilmu pangan, bahan-bahan semacam ini disebut sebagai bahan kritis, yakni bahan yang memiliki risiko tinggi berasal atau terkontaminasi unsur non-halal sehingga memerlukan penelusuran rantai pasok (traceability) secara menyeluruh.

Baca Lainnya  Tulis Opini di Media Internasional, Prabowo Paparkan Pandangan Soal Kualitas Hidup Rakyat

Masalah kehalalan di era industri pangan modern bukan hanya pada bahan baku utama, tetapi juga pada level ingredient, bahkan hingga processing aids. Banyak bahan tambahan berasal dari hasil turunan hewani atau melalui proses yang melibatkan enzim hewan. Ironisnya, bahan-bahan ini sering kali tertulis dengan istilah teknis atau kode tertentu dalam daftar komposisi sehingga sulit dipahami oleh konsumen awam. Sebagai contoh, dalam industri minuman, penggunaan emulsifier seperti mono dan diglycerides, atau penggunaan pewarna tertentu seperti carmine (E120) yang berasal dari serangga, menjadi tantangan tersendiri bagi kehalalan.

Tanpa sistem audit yang kuat, potensi bahan-bahan ini lolos dalam proses sertifikasi halal atau labelling tidak sesuai menjadi sangat besar.

Regulasi pada Produk Halal

Kasus ini membuka diskusi lebih luas tentang Mutual Recognition Agreement (MRA), atau kesepakatan saling pengakuan sertifikat halal antarnegara. Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia memiliki standar halal tersendiri yang diatur dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Namun, dalam konteks perdagangan global, banyak produk impor yang sertifikat halalnya diterbitkan oleh lembaga sertifikasi di negara asal, seperti Korea Selatan.

Prinsip MRA seharusnya memungkinkan sertifikat halal dari luar negeri diakui di Indonesia setelah melalui proses akreditasi dan pengakuan antar lembaga. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua lembaga memiliki standar, metode audit, dan laboratorium pengujian yang setara.

Baca Lainnya  UM Surabaya Gantikan UMM Gelar Dialog Publik Prabowo-Gibran

Hal ini berpotensi menyebabkan adanya perbedaan interpretasi dan pengawasan, sehingga muncul celah di mana produk berlabel halal tetapi sebenarnya tidak memenuhi standar halal Indonesia.

Kasus Pororo ini menjadi contoh nyata bahwa MRA bukan sekadar formalitas, tetapi memerlukan evaluasi berkala, audit silang, dan harmonisasi standar antar lembaga sertifikasi halal dunia. Tanpa itu, kepercayaan konsumen bisa tergerus.

Audit dan Halal Sains

Belajar dari kasus ini, pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) perlu memperkuat sistem pengawasan, terutama terhadap produk pangan impor. Audit rutin dengan sampling acak perlu dilakukan untuk memastikan kepatuhan produsen luar negeri terhadap standar halal yang berlaku di Indonesia.

Selain itu, diperlukan dukungan teknologi sains halal. Penggunaan metode deteksi cepat berbasis molekuler, seperti uji DNA spesifik, maupun metode kimia terstandardisasi, perlu diperluas dalam pengawasan lapangan.

Teknologi deteksi halal ini memungkinkan proses sampling dilakukan lebih cepat, efisien, dan akurat  sehingga respon terhadap kasus pelanggaran dapat dilakukan lebih awal, mencegah meluasnya peredaran produk yang diragukan kehalalannya.

Publikasi riset tentang deteksi halal berbasis biomolekuler dan kimia sudah banyak tersedia di jurnal nasional maupun internasional. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya ilmu pengetahuan untuk mendukung penguatan sistem jaminan halal sebenarnya sudah ada dan berkembang. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengundang para peneliti, akademisi, dan praktisi halal untuk duduk bersama menyusun strategi implementasi teknologi deteksi halal secara nasional.

Baca Lainnya  RBC Institute Ajak Siswa Difabel Malang Lebih Peduli Lingkungan

Tidak hanya itu, investasi riset dan pengembangan laboratorium audit halal berteknologi tinggi juga perlu diperkuat. Dengan langkah ini, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi negara prioritas di dunia yang menerapkan sistem audit halal dengan deteksi cepat sebagai standar nasional, bahkan menjadi pusat rujukan halal global.

Alarm Bersama

Kasus Pororo menjadi alarm penting bahwa menjaga kehalalan produk pangan di era globalisasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga sertifikasi, tetapi memerlukan kolaborasi multisektor, penguatan sains halal, dan literasi konsumen.

Oleh karena itu, masyarakat perlu membiasakan membaca label komposisi bahan pada kemasan secara teliti, memastikan keberadaan logo halal resmi dari LPPOM MUI atau BPJPH Indonesia, mengecek kevalidan nomor sertifikat halal melalui website resmi atau aplikasi halal, serta memahami istilah-istilah kritis pada label, termasuk istilah dalam Bahasa Inggris atau Latin.

Orang tua juga memiliki peran strategis dengan memberikan edukasi sejak dini kepada anak-anak tentang pentingnya memilih makanan halal sehingga mereka terbiasa bertanya, membaca label, dan lebih selektif dalam membeli produk. Semakin tinggi literasi halal masyarakat, semakin kuat pula perlindungan diri dan keluarga dari konsumsi produk yang tidak sesuai syariat.

Semoga kejadian ini menjadi momentum evaluasi dan perbaikan berkelanjutan dalam sistem jaminan halal Indonesia, sekaligus menguatkan kesadaran masyarakat untuk lebih teliti, kritis, dan bijak dalam memilih produk yang halal, aman, dan bermutu, demi perlindungan konsumen Muslim dan keberkahan konsumsi sehari-hari.

*) Penulis: Vritta Amroini Wahyudi
Dosen Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Pengurus LPH-KHT PWM Jatim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *