MAKLUMAT – Rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia menuai beragam respons dari kalangan akademisi. Radius Setiyawan, dosen Kajian Budaya dan Media Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), mengingatkan bahwa sejarah sering kali ditulis dari sudut pandang penguasa dan berisiko mencerminkan kepentingan politik jika tidak dilakukan secara ilmiah dan objektif.
“Sejarah adalah produk kekuasaan. Dalam banyak peristiwa, narasi sejarah yang diajarkan mencerminkan perspektif kelompok dominan pada masanya,” ujar Radius dikutip dari laman UM Surabaya, Rabu (7/5/2025).
Radius menegaskan, proses revisi sejarah harus melalui metodologi ilmiah yang ketat, dengan validitas data dan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia juga menyoroti peran media sebagai alat pengukuh sekaligus penantang narasi sejarah dominan.
“Di era digital saat ini, ruang wacana terbuka lebar bagi berbagai interpretasi sejarah. Media bisa menjadi alat untuk meruntuhkan narasi sejarah yang sudah mapan,” tambahnya.
Radius juga menyentil pentingnya menyelesaikan beban sejarah yang belum tuntas. Menurutnya, bangsa besar tidak bisa melangkah maju jika terus dihantui oleh luka sejarah yang tidak pernah disembuhkan.
Sebelumnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah ini diperlukan untuk mengoreksi pemahaman keliru tentang masa lalu bangsa, termasuk narasi bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.
“Mindset itu harus diubah. Nggak ada 350 tahun kita dijajah. Kita melakukan perlawanan terhadap para penjajah,” tegas Fadli dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (6/5/2025) malam.
Fadli mencontohkan perlawanan yang muncul di berbagai daerah seperti Aceh, Sumatera Barat, hingga Perang Diponegoro di Jawa. Ia menyebut, narasi perlawanan itulah yang harus ditonjolkan dalam sejarah nasional.
“Sejarah perlawanan kita itu yang seharusnya menjadi fokus. Bukan hanya catatan tentang dijajah,” ujarnya.
Ia menyampaikan bahwa penulisan ulang sejarah ini menjadi bagian dari upaya mengenang dan menggali identitas nasional. Mengutip pesan Presiden Soekarno, Fadli menyebut bangsa yang melupakan sejarah akan kehilangan arah dan jati diri.
“Kalau kita ingin tahu hari ini, kita harus melihat masa lalu,” tegasnya.
Penulisan ulang sejarah Indonesia ini ditargetkan rampung sebelum 17 Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.