Haji Tahun Ini untuk Ayah: Cerita Pilu dari Sibolga yang Menggetarkan Hati

Haji Tahun Ini untuk Ayah: Cerita Pilu dari Sibolga yang Menggetarkan Hati

MAKLUMATAyahnya sudah menyiapkan semuanya. Paspor, visa, doa-doa. Tapi takdir berkata lain. Ayah berpulang sebelum sempat naik haji. Kini, sang anak, Pahrul, menggantikan posisi ayah. Menemani ibunya ke Tanah Suci. Ini bukan sekadar perjalanan. Ini cinta. Ini bakti. Ini haji yang disempurnakan dengan air mata dan doa seorang anak.

Demikianlah kisah di tengah hiruk-pikuk keberangkatan jemaah calon haji (JCH) dari Kota Sibolga, Sumatera Utara, Senin (12/5/2025). Sepasang raut wajah—ibu dan anak—terlihat berbeda. Senyum mereka memang menyapa, namun mata mereka seolah menyimpan duka yang dalam. Itulah Pitta (56) dan putra sulungnya, Pahrul Ramadhan Syahputra (30).

Beberapa bulan lalu, Pitta dan suaminya, Hapijuddin—yang akrab disapa Pak Apit—telah menyiapkan segalanya untuk berangkat haji bersama. Paspor sudah jadi, rekam biometrik Saudi Visa Bio (SVB) rampung, dan doa-doa telah mereka rapalkan dalam setiap sujud malam mereka. Tapi takdir tak bisa dinegosiasi. Sebelum hari keberangkatan tiba, Pak Apit wafat akibat komplikasi diabetes. “Bapak itu semangat sekali. Tiap hari bicaranya soal Makkah, soal Arafah. Tapi ternyata Allah lebih sayang,” ucap Bu Pitta seperti dilansir laman Kemenag.

Rencana yang telah mereka bangun bertahun-tahun pun runtuh. Tapi dalam puing-puing duka itu, hadir keputusan yang tidak biasa dari Pahrul: menggantikan sang ayah demi menemani ibunda tercinta berhaji. Keputusan yang bukan hanya administratif, tetapi juga spiritual dan emosional. “Saya tahu ini bukan perjalanan mudah. Tapi saya merasa, inilah cara saya meneruskan niat mulia Bapak. Saya ingin Ibu tidak berangkat sendirian,” ujar Pahrul, menunduk, suaranya lirih.

Baca Lainnya  Sekum PP Muhammadiyah Harap DPR Lebih Terbuka Terhadap Aspirasi Rakyat

Menggantikan posisi sang ayah dalam porsi haji bukan perkara ringan. Pahrul harus mengurus dokumen, mengajukan cuti kerja, dan yang paling berat, memantapkan niat dalam hati. Ada kegamangan yang tak sedikit, ada ketakutan bahwa dirinya belum layak. Tapi setiap kali menatap wajah ibunya, semuanya jadi jelas.

“Ragu itu ada. Tapi kalau saya mundur, siapa yang akan dampingi Ibu?” katanya, tulus.

Hari-hari menjelang keberangkatan dihiasi manasik dan pertemuan keluarga. Rumah mereka tak henti dikunjungi kerabat dan tetangga yang datang berpamitan. Doa mengalir, dan air mata tak bisa dibendung. Di tangan Bu Pitta, sebuah benda kecil tergenggam erat: mushaf tua milik almarhum suami.

“Bapak tetap berangkat, lewat Pahrul,” ucapnya pelan, tapi tegas.

Keberangkatan mereka bukan sekadar menunaikan rukun Islam kelima. Bagi Pitta dan Pahrul, ini adalah ziarah hati—membawa cinta dan niat suci seorang suami dan ayah yang telah pergi. Haji tahun ini, bagi mereka, bukan hanya perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan ruhani. Sebuah pengabdian yang tak lekang oleh waktu.

“Ini bukan hanya haji saya dan Ibu, tapi juga haji Bapak. Saya hanya meneruskan langkahnya,” tutup Pahrul dengan mata yang mulai berkaca.

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *