Cerita Kehangatan dari Tanah Suci: Jemaah Haji Indonesia Makan di Lorong Hotel

Cerita Kehangatan dari Tanah Suci: Jemaah Haji Indonesia Makan di Lorong Hotel

MAKLUMATJemaah haji Indonesia menjadikan lorong hotel sebagai ruang kebersamaan yang hangat. Mereka duduk bersila, menyantap makan siang sambil bercanda di lorong lantai Hotel InterContinental Daar al Hijra, Sektor 1 Madinah, Selasa siang (13/5/2025). Bukan di ruang makan, tapi di lorong kamar, mereka menciptakan momen yang tak tertulis di buku manasik, tapi selalu melekat di hati.

Gelak tawa membuncah di antara aroma masakan yang menyeruak dari boks-boks putih bertuliskan “makan jemaah haji – siang.” Di sana, Wachudi Sukardi duduk bersila bersama anggota rombongannya dari Kloter SOC 24. Mereka bukan tamu biasa. Mereka adalah bagian dari jemaah haji Indonesia, yang untuk kali pertama menapakkan kaki di tanah haram.

Wachudi bukan siapa-siapa di tanah kelahirannya, hanya seorang pedagang kecil yang juga perangkat desa di Dlisen, Limpung, Batang. Tapi di lorong hotel itu, ia adalah pemimpin. Ketawa-ketiwinya mengisi ruang sempit tempat mereka menikmati nasi, lauk, dan sayur khas Indonesia—yang entah bagaimana rasanya terasa lebih nikmat dari biasanya.

“Kirain bakal makan roti terus,” ujar Wachudi dilansir dari laman Kemenag. “Ternyata, malah lebih enak dari masakan sendiri.” Ucapan itu mengundang tawa, dan diamini oleh yang lain. Di perantauan suci ini, menu makanan haji tak sekadar soal gizi—ia menjadi perpanjangan lidah kampung halaman.

Makan di Lorong, Bukan Sekadar Solusi

Di hotel tempat mereka menginap, tak ada ruang makan besar. Maka, makanan diantar langsung ke tiap kamar karom. Sistem ini dikelola oleh Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) bekerja sama dengan perusahaan katering haji lokal, atas koordinasi langsung dari Kementerian Agama Republik Indonesia.

Baca Lainnya  Layanan Bus Shalawat 24 Jam: Antar Jemput Jemaah Haji dari Hotel ke Masjidil Haram

“Karena keterbatasan kapasitas ruang, kami distribusikan makanan ke kamar. Heater-nya kami letakkan di basement,” jelas Djubaidah, Koordinator layanan konsumsi haji di Sektor 1 Madinah.

Distribusi makanan dilakukan tiga kali sehari, masing-masing disertai label waktu konsumsi. Sarapan dibagikan mulai pukul 5 hingga 8 pagi, makan siang pukul 12.00 hingga 14.00, dan makan malam pukul 17.00 hingga 19.00. Di tiap boks, tertera batas waktu konsumsi agar jemaah tidak menyantap makanan yang sudah lewat masa layaknya.

Yang menarik, sebelum makanan dibagikan, satu boks akan dibuka sebagai sampel. Dicek—rasanya, baunya, tingkat kematangannya. Jika lolos sensor cita rasa dan ketelitian, baru dibagikan. “Kami pastikan nasi matang, lauk dan sayur sesuai menu, tidak basi, dan layak konsumsi,” kata Djubaidah.

Rasa yang Mengobati Rindu

Pihak katering yang bekerja sama dengan pemerintah Indonesia tahu benar bahwa makanan bukan sekadar kebutuhan jasmani. Ia adalah ingatan yang direbus bersama bumbu, lalu dihidangkan dalam rindu. Tahun ini, Kementerian Agama haji menggandeng 55 perusahaan katering dan mengimpor langsung 475 ton bumbu Nusantara dari Tanah Air—dari total kebutuhan 611 ton.

Untuk pertama kalinya, jemaah haji Indonesia mendapat layanan konsumsi penuh sebanyak 127 kali makan. Di Madinah saja, mereka mendapatkan 3 kali makan sehari selama 9 hari, atau 27 kali makan. Di Mekah, layanan ini berlanjut selama 28 hari, dan ditutup dengan 15 kali makan siap saji di fase Armuzna. Layanan konsumsi haji kini tak hanya meningkat dalam kuantitas, tetapi juga kualitas. Menu yang disajikan di tanah Arab ini adalah rasa yang akrab, menenangkan hati, menguatkan jiwa yang sedang beribadah jauh dari rumah.

Baca Lainnya  PKB soal Wacana Mengusung Kiai Marzuki, Sudah Ada Sinyal Positif

Lorong yang Menghangatkan

Di antara deretan kamar yang sejuk, lorong menjadi ruang temu, menjadi ruang tawa, menjadi ruang pengikat rasa. Di tempat itu, jemaah tak hanya menyantap makanan. Mereka berbagi cerita, kelelahan, harapan, dan syukur.

“Kami lebih suka makan di sini. Ramai, bareng-bareng. Serasa seperti lebaran di kampung,” ujar salah satu jemaah sembari mengunyah sambal teri kering. Makan di lorong hotel mungkin terdengar sederhana. Tapi di tanah suci, segalanya menjadi istimewa. Termasuk sepiring nasi yang dibagikan dengan cinta dan sepenuh rasa.

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *