MAKLUMAT — Pelayanan publik adalah jalan sunyi yang penuh tantangan. Tekanan tak hanya datang dari kompleksitas masalah yang dihadapi, tetapi juga dari keragaman harapan masyarakat.
Dalam konteks demokrasi dan otonomi daerah, ruang partisipasi publik terbuka luas. Namun, tantangan baru muncul—mulai dari rendahnya literasi politik hingga budaya instan dan mentalitas ketergantungan.
Sering saya ditanya apa yang didapatkan dengan terlibat berbagai aktivitas sosial, politik, dan pendidikan. Saya selalu bilang: ‘mendapatkan masalah’. Sebab di balik masalah itu terdapat peluang memberi manfaat, kebermaknaan hidup, dan terus belajar. Itulah yang menguatkan saya untuk terus melangkah di jalan pelayanan ini.
Berbekal pengalaman sebagai pelayan masyarakat, saya menemukan bahwa kepemimpinan spiritual—yang mengakar pada nilai-nilai luhur keislaman dan diperkuat oleh riset psikologi dan neurosains—menjadi fondasi penting untuk tetap tangguh dan bermakna dalam menjalani tugas publik.
Berikut delapan nilai spiritual leadership yang saya yakini dan terus saya usahakan dalam laku kepemimpinan:
1. Meluruskan Niat sebagai Ibadah
Setiap tindakan bermula dari niat. Ketika niat kita untuk melayani diniatkan sebagai ibadah, pekerjaan menjadi bermakna dan penuh keberkahan (HR. Bukhari-Muslim). Secara psikologis, niat yang tulus memfokuskan pikiran dan memperkuat ketahanan emosi.
2. Bersyukur dalam Segala Keadaan
Syukur adalah kekuatan yang memperluas perspektif. Dalam Alquran, Allah menjanjikan penambahan nikmat bagi yang bersyukur (QS. Ibrahim: 7). Sains membuktikan bahwa rasa syukur meningkatkan hormon kebahagiaan dan menekan stres.
Setiap pagi sehabis sholat subuh saya berdoa: “Terima kasih Ya Allah atas semua anugerah ini. Ijinkan atas semua hal datang hari ini kepadaku sebagai peluang beramal saleh. Jadikanlah aku alat kebaikan, kedamaian dan kerahmatan bagi semua.” Doa ini menjadi penyegar jiwa, membangun kesadaran bahwa segala situasi yang datang adalah bagian dari skenario kebaikan Allah.
3. Ridha Menerima Tugas sebagai Amanah
Tak semua yang tampak sulit itu buruk. Penerimaan yang lapang terhadap keadaan melatih kita memahami hikmah dan mengurangi penderitaan batin (QS. Al-Baqarah: 216).
4. Sabar sebagai Ketahanan Jiwa
Kesabaran bukan kelemahan, tapi kekuatan. Alquran mengajarkan bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan, dan kesabaran membawa kabar gembira (QS. Al-Baqarah: 155). Neurosains menunjukkan kesabaran memperkuat sistem regulasi emosi.
5. Mujahadah: Menikmati Perjuangan, Bukan Hanya Hasil
Menikmati proses adalah kunci untuk menemukan makna dalam kerja. Dalam psikologi, ini disebut flow—kondisi ketika kita begitu tenggelam dalam pekerjaan hingga lupa waktu. Mujahadah membuka ruang lahirnya berbagai ide inovatif.
6. Ikhlas dan Rendah Hati
Ikhlas menjauhkan kita dari dorongan ego yang destruktif (QS. Al-Bayyinah: 5). Dalam otak, keikhlasan menurunkan ‘reaktivitas amigdala‘ (pusat kecemasan), dan meningkatkan refleksi diri.
7. Rahim: Menebar Kasih kepada Semua
Pemimpin yang pengasih akan lebih dipercaya dan dicintai. Rasulullah bersabda: “Orang yang pengasih akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih” (HR. Tirmidzi). Kasih sayang memicu hormon oksitosin yang memperkuat hubungan sosial.
8. Menjaga Silaturrahim, Menyuburkan Kemanusiaan
Silaturahim bukan hanya mempererat hubungan, tapi juga membuka pintu rezeki dan keberkahan (HR. Bukhari). Dalam perspektif neurosains, relasi sosial yang positif mendukung kesehatan otak dan kesejahteraan emosional. Silaturrahim melatih diri untuk meningkatkan kualitas mendengar, mengurangi tindakan yang hanya berdasarkan asumsi atau persepsi pribadi.
Integrasi Akal, Hati, dan Iman
Spiritual leadership bukan sekadar konsep. Ia adalah jalan hidup yang mengintegrasikan akal, hati, dan iman dalam kerja-kerja pelayanan.
Dengan mempraktikkan nilai-nilai ini, kita tidak hanya menjadi pemimpin yang lebih baik, tapi juga menghadirkan pelayanan publik yang lebih manusiawi dan membebaskan.
Salam sehat semangat dan bahagia
Jakarta, 16 Mei 2025