MAKLUMAT — Anggota Komisi X DPR RI, dr Gamal Albinsaid MBiomed, meminta Gubernur Jawa Barat (Jabar) untuk tidak mencoba menerapkan kebijakan pendidikan tanpa adanya dasar atau landasan yang memadai.
Dalam unggahan di akun media sosial (medsos) X (dulu Twitter) pribadinya @Gamal_Albinsaid, pada Sabtu (17/5/2025) lalu, Gamal menyampaikan data anak-anak di Jabar yang tidak bersekolah.
Ia menyoroti anggaran besar mencapai Rp6 miliar yang digelontorkan dari APBD Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar untuk mengirim ‘anak nakal’ ke barak militer.
“Anggaran Rp6 miliar dari APBD untuk 900 anak yang disebut nakal itu perlu kita bandingkan dengan data yang menunjukkan 658.831 anak di Jabar yang tidak bersekolah,” tulis dr Gamal di akun X pribadinya, yang mengutip pernyataannya ketika menghadiri dialog Catatan Demokrasi bertajuk ‘Berkaca dari Jabar, Perlu Tidak Wajib Militer?’ yang disiarkan kanal tvOne pada 12 Mei 2025 lalu.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu merinci data tersebut, bahwa sebanyak 164.631 anak di Jabar drop out (DO), 198.570 anak di Jabar lulus tidak melanjutkan (LTM), serta 295.530 anak di Jabar belum pernah bersekolah (BPB).
Menurutnya, Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi, harus memahami prioritas permasalahan yang harusnya segera diselesaikan, yakni masalah anak putus sekolah atau bahkan tidak bersekolah. Daripada menerapkan kebijakan mengirim ‘anak nakal’ ke barak militer, yang dinilai tidak memiliki dasar yang cukup.
“Jadi saya pikir Pak Gubernur punya tanggung jawab moral (dan konstitusional) untuk menyelesaikan masalah besar (lebih dari setengah juta anak putus sekolah) ini dengan kajian yang mendalam, daripada mencoba satu ide kebijakan tanpa dasar yang memadai,” tandas dr Gamal.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyiapkan anggaran sebesar Rp6 miliar untuk mendidik ‘anak nakal’ di barak militer.
Pernyataan KDM tersebut memicu berbagai respon dari sejumlah kalangan masyarakat. Termasuk, beberapa pihak menyebut alokasi anggaran itu sebagai bentuk pemborosan serta ketidakpahaman pemerintah terhadap prioritas program dan kebijakan.