MAKLUMAT — Prof. Imam Suprayogo, mantan wakil rektor UMM dan rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, memiliki pengalaman yang oleh sebagian orang dibilang unik, yaitu menjadi NU dan Muhammadiyah sekaligus. Beliau pernah menjadi pengurus Muhammadiyah hingga pada tingkat pusat serta juga menjadi pengurus NU, baik di tingkat cabang, wilayah, dan pusat.
Meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan, pengalaman organisasi keberagamaan Prof. Imam Suprayogo dapat dikategorikan dalam kelompok MuNU (Muhammadiyah-NU). Model MuNU diperkirakan cukup banyak di persyarikatan Muhammadiyah. Fakta ini mungkin sah-sah saja mengingat Muhammadiyah merupakan organisasi kosmopolit yang menerima anggotanya dari latar belakang yang sangat beragam.
Masih menurut Prof. Imam Suprayogo, jika selama ini masih sulit mengimplementasikan konsep tentang persatuan di antara organisasi keagamaan yang berbeda, sebenarnya hanya terhambat oleh persoalan psikologis, sejarah, dan hal yang bersifat sosiologis belaka. Setiap organisasi keagamaaan telanjur memiliki nama, identitas, dan simbol-simbol yang berbeda, sehingga secara psikologis dan sosiologis tidak mudah untuk saling bertegur sapa.
Pergulatan Menjadi Muhammadiyah-NU
Terkait dengan Muhammadiyah dan NU, saya memiliki pergulatan batin yang kurang lebih serupa dengan apa yang dialami Prof. Imam Suprayogo. Sejak kecil, saya yang kelahiran Surabaya, dipelihara kakek nenek dari pihak bapak di sebuah kampung pesisir Kwanyar, Bangkalan, Madura, dengan kultur keagamaan tradisional (NU). Kakek saya kebetulan sebagai sesepuh dan guru mengaji di kampung. Ditambah jenjang keilmuan saya, selain menempuh pendidikan SDN dan SMPN di pagi hari, sorenya mengeyam pendidikan agama di madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang diasuh oleh para ustadz dan kiai nahdliyin. Tak heran bila sejak kecil hingga remaja, saya sudah akrab dengan nuansa tahlilan dan yasinan.
Pengalaman keberagamaan di masa kecil saya hampir tidak terbayang memori apapun tentang keberadaan Muhammadiyah. Suatu hal yang aneh ketika ada sebuah masjid di kampung sebelah yang ditengarai bercorak Muhammadiyah. Sekilas terdengar bahwa masjid tersebut beraliran ‘sesat’ yang harus dimusuhi hanya karena ibadah amaliyahnya berbeda dengan tradisi keagamaan yang dianut kebanyakan umat Islam di kecamatan Kwanyar. Masa itu terbetik di benak saya, Islam yang benar hanyalah NU, bukan yang lain.
Belakangan saat remaja saya baru mengerti bahwa emak saya berasal dari keluarga yang memiliki tradisi kuat dengan model keberagamaan ala Muhammadiyah. Kebetulan emak saya lahir di Desa Sukolilo Kecamatan Labang, Bangkalan, yang masyarakatnya banyak berafiliasi ke Muhammadiyah. Sementara bapak saya berasal dari kecamatan Kwanyar yang kental dengan kultur Islam tradisionalnya.
Anehnya, dalam kesan subyektif saya, bapak saya yang ‘NU’ lebih sering memuji-muji Muhammadiyah. Dalam batas tertentu, bapak saya malah cenderung lebih fanatik ke Muhammadiyah. Terbukti setiap hari raya Idul Fitri bapak saya sering mengajak anak-anaknya untuk melaksanakan shalat Id di masjid Mujahidin, Surabaya. Sesekali beliau mengajak anaknya shalat jumatan ke masjid Al Falah, Surabaya. Jamak dimaklumi, kedua masjid tersebut dikenal sebagai masjidnya orang Muhammadiyah.
Pernikahan: Awal Pengembaraan Bermuhammadiyah
Pernikahan beda organisasi masyarakat (ormas), khususnya Muhammadiyah dan NU kerap saya dengar. Tidak sedikit teman saya pun membangun pernikahan dengan latar perbedaan ormas. Bagi saya, pernikahan campuran semacam itu sangat menarik, terlebih saya sendiri juga mengalaminya.
Perjodohan saya dengan putri Ketua Pimpinan Ranting (PRM) Kartasura Solo, mengantarkan saya yang sejak kecil tumbuh dari budaya Islam tradisional memasuki keluarga besar Muhammadiyah. Pernikahan kami yang berawal dari perpaduan antara NU dan Muhammadiyah menyatu hingga kini dan insyaallah sampai maut menjemput.
Selain sama-sama dikenal sebagai ormas yang memperkenalkan Islam yang moderat dan inklusif, Muhammadiyah dan NU juga sama-sama memiliki peran yang besar bagi perkembangan bangsa dalam berbagai aspek. Namun, secara doktrinal Muhammadiyah dan NU mempunyai beberapa perbedaan terutama dalam hal pengalaman ritual yang bersifat furuiyah (cabang).
Perbedaan Muhammadiyah dan NU terlihat jelas ketika penentuan hari raya Idul Fitri yang di antara keduanya jatuh di hari yang sering kali berbeda. Perbedaan yang terjadi memang tidak bisa diterlepas dari sumber rujukan yang digunakan oleh masing-masing ormas. Selain itu, NU sendiri dikenal sebagai ormas dengan toleransinya terhadap tradisi-tradisi yang ada di Indonesia, sementara Muhammadiyah dikenal dengan istilah pemurnian Islam dan berbagai gerakan pendidikan yang dilakukan.
Umumnya, perbedaan dalam hal keyakinan dan budaya merupakan salah satu faktor yang bisa menyebabkan terjadinya perselisihan. Namun, realitas pada keluarga besar istri saya justru menunjukkan hal yang berbeda. Kendati ada perbedaan paham keagamaan, pernikahan kami berlangsung tanpa persoalan. Bapak mertua saya tidak memaksa semua anaknya harus menikah dengan pasangan dari keluarga sesama Muhammadiyah. Melalui pernikahan itulah saya mulai menimba sikap inklusivitas keluarga besar istri yang berpaham Muhammadiyah.
Pengalaman saya hidup bersama keluarga istri dengan tradisi Muhammadiyah bukan hal yang sulit, kendati mengamalkan paham keagamaan yang baru bukan hal yang mudah. Masih teringat ketika saya menjadi imam shalat di sebuah mushala kampung depan rumah keluarga istri, tidak lupa seusai shalat saya masih memimpin zikir ala NU bersama jamaah yang di antaranya ada bapak mertua. Pengalaman zikir bersama itu diam-diam memunculkan perasaan tidak enak kepada bapak mertua dan berdampak pada diri saya selanjutnya untuk mempelajari ibadah ritual menurut paham Muhammadiyah. Bisa dikatakan, pengembaraan saya untuk membuka pintu gerbang Muhammadiyah diawali melalui jalan pernikahan.
Pengabdian di Amal Usaha Muhammadiyah
Beberapa tahun sebelum saya memutuskan menikah dengan putri ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah, sebenarnya saya sudah mengenal Muhammadiyah ketika menempuh studi Magister Ilmu Agama di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Adalah Muhammad Munir (alm), salah satu dosen senior di Fakultas Agama Islam UMM. Beliaulah yang mengajak saya hijrah ke Malang untuk melanjutkan studi S2 di UMM. Beliau pula yang mengajak saya bergabung dengan Corps Mubaligh Muhammadiyah (CMM) Malang Raya hingga sekarang.
Kendati sekian tahun kuliah di UMM dan aktif di CMM, masa itu saya mengenal Muhammadiyah sebatas permukaan saja. Saya sama sekali belum memahami betul tentang ideologi Muhammadiyah dan secara ritual belum mengamalkan apa yang umum dilakukan di Muhammadiyah. Setelah menikah, secara bertahap saya mulai beradaptasi dengan budaya kemuhammadiyahan, terutama setelah banyak bergaul dengan kawan-kawan dosen UMM yang sebelumnya bukan Muhammadiyah, lalu berdiaspora menjadi aktivis Muhammadiyah.
Perjalanan saya dalam bermuhammadiyah terus berlanjut hingga suatu masa diamanahi sebagai anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah (MTT) PDM Kota Malang (2005-2010). Ghirah pengabdian saya di Muhammadiyah terus berlanjut saat ditunjuk sebagai ketua MTT PDM Kabupaten Malang (2010-2015). Pada periode berikutnya (2015-2022) saya mendapatkan amanah sebagai Wakil Ketua Majelis Tabligh (MT) PDM Kabupaten Malang. Sebagai ketua MTT di tingkat daerah saya merasa tertuntut untuk menguasai hal-hal yang berkaitan dengan masalah keagamaan yang telah menjadi putusan MTT di tingkat pusat untuk dilakukan sosialisasi di tingkat daerah maupun cabang. Melalui kepengurusan di Majelis inilah saya semakin mengukuhkan diri sebagai bagian dari gerakan Muhammadiyah.
Pengakuan sebagai bagian dari Muhammadiyah kian menguat ketika saya berkhidmat sebagai dosen tetap di UMM. Saya merasakan dengan mengabdi lewat Kampus Putih UMM, jalan kebermuhammadiyahan lebih lapang. Selain aktif di kampus sebagai akademisi, juga intens dalam aneka aktivitas kebermuhammadiyahan di luar kampus.
Dalam beberapa kesempatan saya diundang sebagai narasumber dalam program penguatan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) yang diselenggarakan oleh perguruan atau lembaga di bawah amal usaha Muhammadiyah. Intensitas saya dalam bermuhammadiyah terus berjalan seiring dengan semangat pengabdian dan keinginan untuk terus berproses menjadi warga Muhammadiyah yang selalu menebarkan manfaat bagi sesama.