Jujur Soal Halal

Jujur Soal Halal

MAKLUMAT — Lagi-lagi, publik dihebohkan oleh kasus temuan halal. Pekan ini, media sosial riuh oleh sebuah unggahan tentang Ayam Goreng Widuran di Solo yang ternyata dimasak dengan minyak babi.

Banyak warganet terkejut dan kecewa, bukan karena rasanya, tapi karena mereka merasa tidak diberi tahu sejak awal bahwa makanan tersebut mengandung unsur non-halal. Sebagian menyebutnya kelalaian, sebagian lain merasa ditipu.

Namun, yang paling jelas dari kasus ini adalah satu hal: masih kurangnya transparansi dalam penyajian informasi halal dan non-halal di ranah kuliner Indonesia.

Informasi Halal

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, kehalalan menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Tapi ironisnya, masih banyak pelaku usaha yang belum menjadikan transparansi bahan sebagai standar.

Dalam konteks ini, jujur soal halal bukan hanya kepatuhan syariat, tapi juga bentuk tanggung jawab moral dan etika bisnis. Kita tentu tidak keberatan jika ada restoran yang menyajikan menu non-halal. Yang penting jelas sejak awal—baik melalui nama, deskripsi menu, atau label di etalase.

Ketidakjelasan justru menimbulkan keraguan dan menggerus kepercayaan konsumen. Bayangkan bila seseorang memiliki alergi kacang, lalu tidak diberi tahu bahwa makanannya mengandung kacang. Itu bisa sangat berbahaya. Begitu pula dalam konteks halal—meski bukan alergi fisik, konsumsi makanan haram oleh konsumen Muslim bisa menimbulkan dampak yang kurang menyenangkan bagi konsumen.

Baca Juga  Terbakarnya Los Angeles dan Surah Kahfi

Teknologi Halal

Saat ini, pengawasan kehalalan memang lebih kuat di produk makanan kemasan. Adanya logo halal dari BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) dan LPPOM MUI menjadi penanda yang cukup terpercaya.

Namun, bagaimana dengan makanan di restoran, warung, atau gerai kaki lima? Masih sangat sedikit yang menjelaskan bahan bakunya secara terbuka. Bahkan ada yang merasa tidak perlu memberi tahu, karena menganggap semua makanan Indonesia otomatis halal. Ini adalah kesalahan asumsi yang cukup umum. Dan di sinilah letak masalahnya: transparansi belum menjadi budaya kolektif dalam sektor kuliner.

Masyarakat sering baru tahu ada unsur non-halal setelah viral. Ini menunjukkan lemahnya sistem informasi dan edukasi, serta kurangnya penegakan standar dalam penyajian makanan.

Teknologi memberikan solusi. Beberapa penelitian deteksi cepat berbasis metode molekuler berbasis DNA yang bisa mendeteksi keberadaan gen babi dalam makanan kurang dari 30 menit sedang dilakukan. Hal ini berprinsip pengaplikasian bioteknologi pada autentikasi halal.

Sertifikasi dalam regulasi bisa juga mengaplikasikan block chain melalui sistem pelacakan digital dari bahan baku hingga produk akhir yang tidak bisa dimanipulasi, dan informasinya bisa diakses konsumen lewat QR Code.

Dengan pendekatan ini, produsen dapat menunjukkan bukti ilmiah kehalalan produknya, dan konsumen bisa mengambil keputusan dengan informasi yang jelas.

Bersikap jujur soal bahan makanan bukan hanya kewajiban agama atau etika, tapi juga strategi bisnis. Di era digital ini, kepercayaan publik adalah modal terbesar.

Baca Juga  Jadi Petugas Haji? Siapa Takut!

Gerai yang terbuka soal bahan non-halal justru akan mendapat penghargaan dari konsumen, termasuk non-Muslim yang menghargai keterbukaan dan kebersihan proses produksi. Sebaliknya, tempat makan yang menyembunyikan fakta berisiko boikot, viral negatif, dan kehilangan reputasi yang telah dibangun.

Belajar dari Negara Lain

Negara muslim minoritas justru sangat serius menghadapi kasus halal, mereka sadar bahwa potensi halal market sangat besar. Itulah mengapa, mereka menghindari peluang boikot ketika citizen dan netizen menemukan kasus di unit bisnis mereka.

Thailand, Jepang, Korea Selatan, dan sejumlah negara lainnya sangat menyadari pentingnya wisata halal. Mereka menyediakan label khusus untuk makanan halal, restoran halal certified, dan menyusun panduan menu untuk wisatawan Muslim.

Indonesia seharusnya bisa lebih maju dalam hal ini. Apalagi, kita digadang sebagai pusat halal global. Tapi kita tak bisa jadi pusat halal dunia jika di dalam negeri sendiri masih ragu-ragu bicara soal transparansi bahan makanan.

Pada akhirnya, makan bukan hanya soal rasa. Tapi juga soal rasa aman, nyaman, dan percaya. Kita ingin bisa makan tanpa rasa curiga. Kita ingin bisa membeli tanpa bertanya-tanya. Dan kita ingin tahu apa yang masuk ke dalam tubuh kita—karena itu bagian dari identitas, prinsip, dan keimanan kita.

Jujur soal halal bukan hanya slogan. Tapi langkah nyata untuk membangun ekosistem kuliner yang lebih sehat, adil, dan berintegritas. Dan saat itu terjadi, kita bisa berkata: Makan enak itu penting. Tapi makan dengan tenang, karena tahu isi piring kita, jauh lebih penting.

Baca Juga  Menanti Langkah Strategis Indonesia untuk Palestina
*) Penulis: Vritta Amroini Wahyudi
Dosen Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Pengurus LPH-KHT PWM Jawa Timur; Mahasiswa PhD Biotechnology Chulalongkorn University Thailand

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *