MAKLUMAT — Pada sebuah malam, kolega saya di Kantor Penasihat Khusus Presiden RI Bidang Haji, Abd. Rohim Ghazali, mengirim pesan teks telepon genggam. Intinya meminta saya mengirimkan sejumlah berkas administratif untuk pengajuan kami sebagai Petugas Haji 1446 H/2025 M. Lalu, saya kirim berkas-berkas itu. Saat mengirim, terus terang saya tidak punya spekulasi kira-kira bagaimana kelanjutannya.
Namun semua terjadi dengan begitu cepat. Keesokan harinya, saya menerima surat panggilan sebagai Petugas Haji 1446/2025 dari Kementerian Agama Republik Indonesia. Demikian juga dengan Kang Rohim, begitu saya biasa memanggilnya. Surat itu juga memuat tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh para calon petugas, hingga tanggal keberangkatan. ‘‘Saya tidak menduga secepat ini,” kata Kang Rohim. Kami lalu berkonsultasi kepada Prof Muhadjir Effendy, atasan kami di kantor, dan beliau mengizinkan untuk berangkat.
Maka, kami ikuti tahap berikutnya, yaitu Bimbingan Teknis (Bimtek). Pada saat menjalani Bimtek di Asrama Haji Cipondoh, Tangerang, Banten; saya baru menyadari rupanya banyak orang yang mendambakan posisi petugas haji dengan cara mengukuti seleksi. Memang, ada dua cara untuk menjadi petugas haji, yaitu Seleksi dan Penunjukan Langsung. Saya melewati jalur kedua. Tentu mudah diduga. Itu pasti berkaitan dengan pekerjaan saya di Kantor Penasihat Khusus Presiden Bidang Haji, yang memang harus mengetahui seluk-beluk penyelenggaraan haji. Sehingga menjadi petugas haji adalah salah satu pintu penting untuk terlibat di dalamnya.
Beberapa orang yang saya kenal pernah bercerita bahwa mereka telah berkali-kali mengikuti seleksi calon petugas haji, dan belum beruntung. Ada di antara mereka yang telah mengikuti belasan kali, dan baru berhasil. Tetapi ada juga yang belasan kali tes itu belum juga sukses.
Lalu mengapa petugas haji begitu diminati? Saya menduga ada dua hal, yaitu a) berkaitan dengan panjangnya masa antrean haji dan b) keinginan untuk memberikan pelayanan kepada jamaah haji Indonesia di Makkah. Tugas utama para petugas haji sebenarnya melayani semua keperluan jamaah haji Indonesia di Haramain. Sedangkan bisa sekaligus menunaikan haji adalah bonus.
Begitu penekanan yang disampaikan oleh pimpinan Kementerian Agama, Republik Indonesia, termasuk Prof Hilman Latief, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Maka menjadi petugas haji adalah alasan praktis untuk bisa berhaji dengan cepat. Selain itu, secara teologis, melayani para jamaah haji, yang merupakan tamu-tamu Allah sering disebut dengan dhuyuf al-rahman, merupakan impian spiritual banyak Muslim.
Saat menulis artikel ini, saya telah menjalani amanah sebagai petugas haji kurang lebih tiga minggu. Dari pengalaman singkat tiga minggu itu, saya ingin berbagi cerita seputar suka-duka menjadi petugas haji sekaligus tips dan bekal bagi siapa saja yang berminat menjadi petugas haji di masa-masa mendatang.
Kesiapan Mental
Pertama, petugas haji harus memiliki kesiapan mental. Menjadi petugas haji adalah sebuah pekerjaan yang mempersyaratkan kesiapan mental. Ini karena akan ada sangat banyak peristiwa yang kita alami saat berinteraksi dengan berbagai pihak. Setidaknya tiga kelompok, yaitu: jamaah, syarikah (pihak-pihak rekanan pemerintah Indonesia yang ditunjuk untuk mengurus berbagai layanan), dan kolega sesama petugas.
Namun, saya akan beri contoh dari aspek jamaah saja. Mesti difahami bahwa jamaah haji Indonesia yang berjumlah rata-rata di atas 200 ribu tiap tahun itu pastilah berasal dari aneka latar belakang. Jamaah haji reguler, untuk alasan kepraktisan mari kita anggap saja berasal dari kalangan menengah ke bawah. Lho, apakah kelompok kelas eknomi bawah bisa naik haji? Itulah fenomena menarik tentang Muslim Indonesia. Haji yang menjadi dambaan semua umat Muslim itu akan diupayakan sedemikian rupa oleh siapapun.
Maka jangan heran, ketika di antara ribuan jamaah haji itu, ada penjual bakso keliling, penjual kacang goreng, atau petani biasa di desa. Di sisi lain, ada juga kelas menengah yang lebih memilih menjadi jamaah haji reguler ketimbang haji khusus, untuk alasan-alasan tertentu. Jika perbedaan kelas ekonomi menengah dan kelas ekonomi bawah dibedakan dari pekerjaan, maka alangkah luasnya rentang perbedaan kelas di antara mereka.
Atas alasan itu, seorang petugas harus bisa menghadapi kalangan menengah yang memiliki profesi-profesi formal, seperti guru, dosen, pengacara, pegawai pemerintah, dan sejenisnya. Pada saat yang sama, mereka juga harus luwes berkomunikasi dan bersikap dengan jemaah yang berasal dari desa, yang sangat mungkin mengalami culture-shock (guncangan budaya). Misalnya, jamaah yang takut naik lift atau tidak bisa menyalakan lampu hotel.
Tak hanya itu, perbedaan latar belakang itu juga bisa berkaitan dengan apresiasi dan celaan. Misalnya, seorang jama’ah perempuan dari Tulungagung, Jawa Timur, berusia sekitar 60-an, mendorong ibunya yang berusia 80-an dengan kursi roda, tiba-tiba berkomentar: “Enak ya jadi jama’ah haji, Mas. Semua serba tersedia, semua serba dilayani, ada yang mengarahkan, ada yang menjaga.” Jika bertemu dengan apresiasi seperti ini, ketahanan mental petugas jadi menguat.
Tapi tidak jarang, ditemukan oknum jamaah yang membawa-bawa posisi dan jabatannya di Indonesia, sehingga mereka melihat pelayanan petugas haji selalu kurang dan salah. Seperti yang kami alami pada suatu malam. Serombongan jamaah baru datang ke hotel lewat tengah malam. Mereka dipersilahkan duduk di lobi hotel, disajikan makan malam, sembari kami membagikan kunci kamar masing-masing. Kemudian kami antarkan ke lantai di mana mereka tinggal dengan menaiki lift. Eh, baru saja lift bergerak beberapa detik, seorang jamaah berkata dengan nada marah dan tak suka: ‘‘Besok-besok kalau mengelola jamaah jangan begini. Kacau semua.ʺ
Kami sudah tak ingin menjawab pernyataan itu, dan tak ingin pula menanyakan aspek pengelolaan mana yang ia kritik. Dalam balutan kelelahan fisik, ditambah dengan tekanan mental, jika kami tanggapi, akan menjadi perdebatan tanpa ujung dan menambah kelelahan fisik. Praktis, kami hanya menjawab: “Baik. Terima kasih atas masukannya, Pak.”
Kedua, kesiapan fisik. Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kiai Fathurrahman Kamal, yang juga terlibat sebagai Mustasyar Diniy (Penasihat Keagamaan) pada Haji 1446/2025 ini, menyapa saya melalui pesan teks telepon genggam, sesaat setelah beliau menjejakkan kaki di Makkah al-Mukarramah. Sedang bertugas di lapangan, jawab saya. Syaikh Kamal, begitu saya biasa memanggil beliau, seperti tidak percaya. ʺPetugas lapangan tenan ta?ʺ tanya beliau lagi dalam bahasa Jawa.
Keesokan harinya, kami bertemu di sela-sela menjalankan tugas masing-masing. Dari perbincangan langsung dan pengetahuan melalui kesaksian (ainul yaqin), beliau akhirnya sampai pada tahap haqqul yaqin (keyakinan yang sesungguhnya) bahwa petugas haji memang benar-benar menjalankan tugas-tugas yang memerlukan ketangguhan fisik. Setidaknya dalam dua hal. Kedatangan jamaah ke hotel bisa sewaktu-waktu. Tak kenal jam. Bisa tengah malam, bisa menjelang subuh, bisa pagi buta, bisa siang bolong. Ini memerlukan ketangguhan fisik, karena pola kedatangan yang seperti itu menjadikan jam tidur petugas tidak teratur.
Ketangguhan fisik lainnya berkaitan dengan aneka pekerjaan contingency, yakni sesuatu yang tiba-tiba terjadi di luar perkiraan. Seperti yang terjadi pada suatu malam menjelang subuh. Saya dan tim piket baru saja menyelesaikan penyambutan jamaah dan penempatan mereka di kamar-kamar. Baru beberapa langkah menuju pintu utama hotel, sebuah bis shalawat berhenti. Bis shalawat adalah bis yang disewa pemerintah Indonesia untuk membawa jamaah haji dari hotel ke Masjidil Haram secara reguler.
Tiba-tiba pengemudi meminta tiga kursi roda kepada petugas hotel. Tiga orang lansia keluar dari bis dengan dibantu pengemudi dan beberapa pekerja hotel. Mengejutkan. Dari tiga lansia itu hanya satu orang yang disertai pendorong kursi roda. Tak mungkin saya membiarkan mereka. Niat awalnya, saya akan mendorong dua pengguna kursi roda itu satu per satu ke kamar mereka. Namun, karena sangat sulit dua tangan mendorong dua kursi roda sekaligus, satu jamaah saya antar ke lantai atas, satu yang lain saya tinggal di lantai lobi untuk nanti saya ambil kembali. Tetapi, belum lagi saya melangkah, jamaah yang saya tinggal berteriak karena takut ditinggal sendirian. Jadilah, dengan segala upaya, saya masukkan dan keluarkan mereka ke lift secara bergantian.
Kemampuan Organisasi
Ketiga, keterampilan organisasi. Kembali ke persoalan contingency tadi, memang ada banyak persoalan-persoalan yang memerlukan keputusan taktis dan cepat. Bagi mereka yang tidak pernah hidup dalam organisasi, pastilah sulit mengambil Keputusan-keputusan pada situasi yang mepet. Sementara karakter jamaah yang bermacam-macam tadi seringkali menjadikan kita harus memberikan ketegasan. Namun, bagi mereka yang biasa berorganisasi, yang telah terlatih menghadapi situasi-situasi emergency, akan segera mampu beradaptasi dan mengambil langkah-langkah alternatif.
Kemampuan organisasi lainnya adalah dalam bentuk mengorganisasi orang. Petugas haji sangat banyak, dan semua memiliki tugas masing-masing. Namun, jika kebetulan seorang petugas ditugasi memegang posisi-posisi koordinatif, tanpa adanya kemampuan organisasi yang memadai, rasanya sulit menjalankan peran tadi. Bahkan ketika “hanya” menjadi anggota dan pelaksana sekalipun, jika tidak biasa berorganisasi, akan sangat sulit bekerja dalam tim.
Lho, kok kompleks begitu ya persiapan menjadi petugas haji? Demikianlah realitasnya. Setidaknya ini pengalaman subyektif saya. Orang lain bisa saja memiliki kesan dan pengalaman yang berbeda. Tentu tulisan ini tidak untuk menakut-nakuti. Tetapi justru sebagai tips persiapan bagi mereka yang ingin menjadi petugas haji. Bagi mereka bernyali besar, menyukai pengabdian, tantangan, serta petualangan spiritual dan fisik; menjadi petugas haji adalah pilihan tepat. So, jadi petugas haji? Siapa takut!