29.3 C
Malang
Jumat, November 22, 2024
OpiniWajah Islam Politik dalam Kontestasi Pilpres 2024

Wajah Islam Politik dalam Kontestasi Pilpres 2024

Abdus Salam, Sekretaris PSIF UMM.

DISKURSUS Islam Politik dalam politik elektoral menjadi menarik. Jumlah penduduk yang memeluk agama Islam tentu menjadi magnet luar biasa dalam politik elektoral. Di setiap lembaran kontestasi politik, baik dalam pemilu dan pilkada serentak, suara umat Islam menjadi proyeksi utama yang harus didekati dan direbut oleh para kontestan politik.

Sebagaimana data di Kemendagri jumlah penduduk Indonesia pada 2022 mencapai 275.361.267 jiwa, sementara berdasarkan agama jumlah penduduk yang memeluk Islam mencapai 241.699.189. Sungguh fantastis, jumlah yang tidak sedikit. Sehingga penduduk beragama Islam menjadi pesona bagi para kontestan untuk mendapat suara dan simpati dalam pagelaran politik 2024.

Dalam politik elektoral dan demokrasi liberal saat ini, di mana one man one vote menjadi titik pangkal dalam kemenangan konstestasi politik, maka merebut suara umat Islam menjadi keniscayaan. Pragmatisme politik sebagai akibat mandulnya parpol dalam melakukan pendidikan politik, sangat menguntungkan bagi para kontestan yang memiliki gizi politik untuk membeli suara. Sungguh fakta itu tidak bisa dibantah.

Dalam perjalanannya, Islam politik memiliki daya letup yang ikut mewarnai proses demokrasi. Hal ini terjadi karena pergumulan politik kebangsaan umat Islam dalam pentas politik tidak diragukan keabsahannya.

Semua itu tidak terlepas dengan doktrin dan pemikiran tokoh politik Islam klasik Hasan Almawardi (974-1058 M) yang mengatakan,  ”Al-imâmah maudhῡ’atun likhilâfati al-nubuwwah fî ḥirâsati al-dîn wa siyâsati al-dunyâ.” Kepemimpinan politik dilembagakan sebagai pengganti peran kenabian untuk melindungi agama dan mengatur urusan dunia (Al-Mawardi dan Al-Sultaniyah 1881:3) (Maarif: 2).

Islam politik sebagai kanal efektif dalam ruang kekuasaan mutlak adanya, agar politik profetik ini bersemai dalam relung kebangsaan, di mana nantinya keadilan dan kesejahteraan masyarakat tidak hanya menjadi lips service dan jauh panggang dari api. Islam Politik tentu berbeda dengan politik Islam di mana politisasi agama dijadikan bingkai untuk meraih simpati publik dan berorientasi elektoral semata. Kasus Pilkada Jakarta 2017 menjadi potret buram demokrasi kita. Tentu semua sepakat, kejadian ini harus dihentikan.

Sudah mafhum, dan menjadi kesadaran kolektif bahwa partai politik menjadi jantung bersemainya demokrasi. Pemilu sebagai salah satu media dalam melahirkan praktik demokratisasi tidak bisa dielakkan. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Clinton Rossiter bahwa tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai (handbook politik:2017).

Tantangannya adalah agar partai politik sebagai instrumen bagi rakyat dalam menyalurkan aspirasi politiknya harus disehatkan. Suka tidak suka, mau tidak mau, kehadiran parpol sangat dibutuhkan. Adagium masyhur yang mengatakan bahwa jika kukunya yang kotor maka yang dipotong kukunya bukan jarinya. Jika oknum dalam parpol yang sakit, maka yang sakit harus diobati, bukan partainya yang dibubarkan.

Parpol sebagai jangkar demokrasi harus kokoh, harus didukung agar tidak mengalami disorientasi dan kemandulan politik. Spirit dan ruh demokrasi sejatinya harus disemaikan dan diinternalisasikan oleh parpol kepada masyarakat, di samping peran civil society juga penting keterlibatannya agar demokrasi ini tumbuh dan berkembang semata-mata untuk kesejahteraan masyarakat.

Perilaku parpol dan elite politik yang intens menyapa dan merawat konstituen tidak hanya ritual menjelang pemilu. Jika ini yang menjadi watak elite, maka pembangkangan rakyat yang diwujudkan dengan materialisme politik tak bisa dihindari, dalam bahasa yang berbeda politik berbasis NPWP menjadi perilaku politik.

Tentu Islam politik sebagaimana gagasan Hasan Almawardi menjadi urgent melihat realitas politik saat ini. Pendulum politik sudah bergeser ke transaksional ekstrem. Politik gagasan hanya laku dalam ruang seminar dan lokakarya politik. Faktanya yang terjadi di lapangan sebaliknya.

Lantas bagaimana posisi Islam politik dalam kontestasi Pilpres 2024. Islam politik sebagaimana diurai di atas tidak sekadar simbol dan ideologi parpol yang  berazaskan Islam. Islam politik tidak terjebak pada formalisasi, lebih dari itu Islam politik mengedepankan nilai-nilai, orientasi dan lanskap gerakannya mengedepankan keberpihakan dan keadilan sosial. Meskipun simbol-simbol agama dalam konteks ini penting lantaran nalar dan melek politik rakyat semakin tergerus.

Jika melihat peta koalisi saat ini, parpol yang secara massa dan ideologi partainya cenderung berbasis agama dalam hal ini Islam, seperti PKB, PAN, dan PBB berada dalam koalisi Gerindra mendukung Prabowo Subianto. Golkar dan PAN bergabung ke Prabowo dan meninggalkan PPP yang mendukung Ganjar Pranowo dari PDIP. Sementara PKS, Nasdem, dan Demokrat mendukung Anies Baswedan.

Jika kita kalkulasi, posisi partai Islam atau berbasis Islam menumpuk di kubu Prabowo. Di Kubu Ganjar ada PPP, sementara di kubu Anies ada PKS yang dikenal dengan partai kader yang solid. Jika ditarik dalam konteks massa parpol yang memiliki kesamaan ideologi Muhammadiyah dan NU berada dalam lingkaran Prabowo. Tentu kalkulasi ini sangat sumir, karena faktanya tidak sesederhana itu.

Pertanyaannya, apakah Islam politik dalam kontestasi 2024 memiliki peran strategis dan menjadi aktor kemenangan atau hanya dijadikan kuda troya politik kekuasaan, wallau a’lam bisshawab. (*)

Abdus Salam, Penulis adalah Sekretaris Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer