MAKLUMAT — Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengungkap hasil pemantauan aktivitas pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang dilakukan pada 26–31 Mei 2025. Dalam konferensi pers di Jakarta, Ahad (8/6/2025), Hanif menyampaikan temuan dari empat lokasi tambang yang masing-masing dikelola perusahaan berbeda.
Pulau Gag Relatif Aman, Tapi Perlu Pendalaman Lanjut
Salah satu lokasi yang menjadi sorotan adalah Pulau Gag, Kecamatan Waigeo Barat Kepulauan, yang dikelola oleh PT GN, anak perusahaan BUMN Aneka Tambang (Antam). Menurut Hanif, tambang nikel di pulau tersebut relatif aman dan terjaga, serta mematuhi kaidah lingkungan.
“Jadi memang kelihatannya pelaksanaan kegiatan tambang nikel di Gag ini oleh PT GN ini relatif memenuhi kaidah-kaidah tata lingkungan. Artinya bahwa tingkat pencemaran yang tampak oleh mata itu hampir, hampir, hampir tidak anu, tidak terlalu serius,” kata Hanif.
Meski begitu, Hanif menekankan perlunya pendalaman lebih lanjut, terutama karena sedimentasi sudah mulai menutupi permukaan terumbu karang, yang menjadi ekosistem penting di kawasan laut Raja Ampat.
“Koral sebagai suatu habitat yang memang harus kita jaga benar keberadaannya, sangat penting buat kehidupan kita semua, terutama yang bermuara akan nanti kepada di laut,” ujarnya.
PT GN sendiri merupakan salah satu dari 13 perusahaan yang diperbolehkan melanjutkan kontrak karya tambang di kawasan hutan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004. “Untuk PT GN merupakan 13 perusahaan yang diperbolehkan untuk melanjutkan kontrak karya pertambangan di kawasan hutan lindung sampai berakhirnya izin,” terang Hanif.
Aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag ini juga telah dihentikan sementara oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, untuk dilakukan peninjauan langsung ke lapangan serta pendalaman lebih lanjut.
Kolam Limbah PT ASP Jebol, Pulau Manuran Tercemar
Kemudian, Hanif memberikan sorotan serius terhadap aktivitas pertambangan di Raja Ampat yang dilakukan PT Anugerah Surya Pratama (ASP), tepatnya di Pulau Manuran. Ia menunjukkan foto-foto terkini kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah tersebut termasuk kekeruhan air di bibir pantai yang diduga akibat jebolnya kolam pengendapan limbah tambang (settling pond).
“Pada saat dilakukan pengawasan memang ada kejadian settling pond dan jebol. Dan ini memang menimbulkan pencemaran lingkungan, kekeruhan pantai yang cukup tinggi. Dan ini tentu ada konsekuensi yang harus ditanggungjawabi oleh perusahaan tersebut,” jelasnya.
Namun, hingga saat ini pihaknya di Kementerian mengaku belum menerima dokumen persetujuan lingkungan dari PT ASP. Dokumen itu, kata Hanif, sebelumnya hanya diterbitkan oleh Bupati Raja Ampat pada 2006.
“Jadi sampai sekarang dokumen tersebut belum berada di kami. Kami nanti akan minta untuk kemudian diserahkan kepada kami untuk dilakukan review lebih lanjut,” tegas Hanif.
Hanif juga menyinggung lemahnya manajemen lingkungan di PT ASP. “Termasuk manajemen lingkungannya belum dia miliki sehingga kondisi lingkungannya tidak terlalu baik untuk yang berada di PT ASP ini di Pulau Manuran,” sorotnya.
PT KSM Buka Lahan di Luar Izin, Langgar Persetujuan
Lebih lanjut, Hanif juga mengungkapkan temuan yang terjadi di tambang yang dikelola PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) di Pulau Kawei. Ia menyebut, perusahaan itu justru membuka lahan seluas 5 hektare yang luar izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Ia menegaskan, pembukaan lahan melebihi izin PPKH tersebut adalah aktivitas yang melanggar dan akan segera ditindak.
“Ada kegiatan bukaan lahan yang melebihi dari lokasi pinjam pakai kawasan hutan yang tentu ini melanggar persetujuan lingkungan,” tandas Hanif.
Kegiatan Eksplorasi PT MRP Dihentikan
Tak hanya itu, dalam kesempatan itu Hanif juga menegaskan bahwa aktivitas PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Batang Pele masih dalam tahap eksplorasi. Namun, kegiatan tersebut telah dihentikan oleh Kementerian LH.
“Kegiatannya baru di dalam kegiatan eksplorasi, jadi ada pemasangan kegiatan titik-titik board pada 10 titik,” terang Hanif.
“Kita telah menghentikan kegiatan eksplorasi yang dilakukan di PT MRP untuk menghentikan kegiatannya lebih lanjut. Karena kegiatannya belum berdampak terlalu ini, kita hanya menghentikan saja karena belum ada aktivitas apa-apa,” tambahnya.
Temuan-temuan terkini atas aktivitas pertambangan di Raja Ampat tersebut, kata Hanif, menunjukkan bahwa pengawasan tambang di pulau-pulau kecil perlu diperketat, dan kewenangan pemberian izin harus dikaji ulang secara sistemik.
“Persetujuan lingkungan mestinya kita tinjau kembali atau kita mungkin pertimbangkan memberikannya bila mana teknologi penanganannya tidak kita kuasai atau kemampuan kita untuk merehabilitasi tidak mampu,” tegasnya.