Menyelamatkan Raja Ampat

Menyelamatkan Raja Ampat

“Indonesia merdeka bukan tujuan akhir, tetapi syarat untuk dapat mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Kekayaan alam kita harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir orang.”—Mohammad Hatta

MAKLUMAT — Beberapa hari ini kita diperlihatkan banyaknya berita penolakan tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Beberapa foto dan video yang beredar di sosial media memperlihatkan rusaknya sebagian kawasan Raja Ampat yang sudah menjadi kawasan pertambangan. Secara histroris dan ekonomis, pertambangan hanya menguntungkan segelintir orang, sedangkan masyarakat setempat tidak menerima dampak positif yang signifikan dari hasil tambang.

Menolak tambang nikel di Raja Ampat merupakan keputusan paling rasional dari sudut pandang finansial. Raja Ampat adalah aset ekonomi kelas dunia dengan nilai merek (brand equity) yang luar biasa tinggi di pasar pariwisata global. Memberikan izin tambang nikel di wilayah ini sama saja dengan melakukan likuidasi aset secara gegabah, menghancurkan mesin penghasil devisa berkelanjutan dari sektor pariwisata bernilai tinggi demi keuntungan tunai sesaat dari penjualan bahan mentah (nikel). Lebih buruk lagi, aktivitas tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan jangka panjang dengan biaya pemulihan yang tidak terukur di masa depan.

Dampak Pertambangan Raja Ampat

Gugusan pulau-pulau Raja Ampat, Papua Barat Daya. (Ilustrasi: Ubay NA/ IST)
Gugusan pulau-pulau Raja Ampat, Papua Barat Daya. (Ilustrasi: Ubay NA/ IST)

Menambang di Raja Ampat berarti menghancurkan aset tak ternilai yang merupakan episentrum keanekaragaman hayati laut dunia. Wilayah ini adalah rumah bagi spesies koral dunia dan ribuan jenis ikan, berfungsi sebagai laboratorium alam serta “mesin” kehidupan yang menopang ekosistem laut di sekitarnya. Mengizinkan pertambangan di sini merupakan sebuah tindakan yang mengabaikan nilai warisan tak tergantikan untuk keuntungan jangka pendek.

Baca Juga  UMJ Buka Konsentrasi Politik Internasional Studi Baitul Maqdis di Program Magister Ilmu Politik

Kedua, dampak pertambangan akan menciptakan kerusakan yang bersifat masif dan tak terpulihkan. Aktivitas pembukaan lahan tambang akan memicu erosi besar-besaran, mengirimkan aliran sedimen dan lumpur ke laut yang akan menutupi dan mematikan terumbu karang yang menjadi fondasi seluruh ekosistem. Bersamaan dengan itu, limbah tambang yang mengandung logam berat dan bahan kimia beracun akan mencemari perairan. Sementara pembangunan infrastruktur pendukung seperti pelabuhan dan jalan secara fisik akan melenyapkan ekosistem pesisir vital seperti hutan mangrove dan padang lamun. Dari sudut pandang ekonomi, argumen pro-tambang sangatlah rabun dan keliru.

Ketiga, pendapatan yang dihasilkan dari pertambangan bersifat jangka pendek dan ekstraktif, yang setelah sumber dayanya habis hanya akan meninggalkan kerusakan lingkungan permanen dan potensi kemiskinan bagi masyarakat. Hal ini sangat kontras dengan ekonomi berbasis konservasi seperti ekowisata berkelanjutan, yang telah terbukti memberikan pendapatan yang terus-menerus, memberdayakan masyarakat lokal secara langsung, dan nilainya justru terus meningkat seiring dengan terjaganya kelestarian alam Raja Ampat.

Solusi Bagi Masyarakat

Solusi paling fundamental dan mendesak terletak pada ketegasan kebijakan dan supremasi hukum. Pemerintah harus segera memberlakukan moratorium permanen untuk seluruh aktivitas pertambangan dan mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah ada, dengan landasan perlindungan terhadap ekosistem strategis nasional. Langkah ini harus diperkuat dengan memantapkan status hukum Raja Ampat sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan Geopark Dunia, serta secara eksplisit menetapkan seluruh wilayahnya sebagai zona non-tambang (zero-mining zone) dalam peraturan tata ruang.

Baca Juga  Muhammadiyah Terlibat, tapi Tidak Tercebur ke Politik Praktis

Sebagai pilar ekonomi pengganti, akselerasi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat menjadi jalan utama. Investasi harus dialihkan dari industri ekstraktif ke ekonomi biru yang memberdayakan. Ini berarti memberikan dukungan nyata berupa insentif, pelatihan profesional, dan akses permodalan bagi masyarakat lokal untuk membangun homestay ramah lingkungan, menjadi pemandu wisata dan selam bersertifikat, serta mengembangkan produk turunan seperti kuliner dan kerajinan tangan. Hal terpenting adalah memastikan bahwa mayoritas keuntungan dari pariwisata kembali dan dinikmati oleh masyarakat adat sebagai penjaga sejati alam Raja Ampat.

Di luar pariwisata, diversifikasi ekonomi biru harus digalakkan untuk membangun ketahanan ekonomi lokal. Ini mencakup pengembangan sektor perikanan berkelanjutan dengan mendorong metode tangkap yang tidak merusak seperti pancing ulur, sambil melarang keras praktik destruktif.

Potensi jasa lingkungan yang dimiliki Raja Ampat sangat besar. Pemerintah dapat merintis skema pemanfaatan karbon biru (blue carbon) dari ekosistem mangrove dan padang lamun, menciptakan sumber pendapatan baru yang inovatif melalui mekanisme seperti perdagangan karbon, di mana perlindungan alam secara langsung menghasilkan nilai ekonomis. Fondasi dari semua solusi ini adalah pemberdayaan masyarakat adat dan penguatan kesadaran publik.

Selain itu, Hak-hak masyarakat adat atas tanah dan perairan ulayat mereka harus diakui dan diperkuat secara hukum, karena merekalah garda terdepan perlindungan kawasan. Ketika masyarakat berdaya secara ekonomi dan hukum, mereka akan menjadi benteng pertahanan paling kokoh melawan ancaman industri ekstraktif. Upaya ini harus didukung oleh kampanye publik yang masif di tingkat nasional dan internasional untuk terus menyuarakan keindahan sekaligus kerentanan Raja Ampat, sehingga membangun tekanan kolektif yang kuat untuk mempengaruhi kebijakan dan menjaga warisan dunia ini.

Baca Juga  Sikap Ketua LHKP Jatim Respon Polemik Tambang Emas di Trenggalek

Seperti kutipan pernyataan Bung Hatta—Wapres kebanggaan kita—di atas, bahwa kekayaan alam Indonesia harus dirasakan oleh semua anak bangsa, bukan segelintir orang yang mempunyai modal dan kuasa. Sebagai warga negara yang waras dan mencintai tanah air, kita wajib bersuara terkait nasib bumi dan kekayaan Indonesia. Memilih tambang di Raja Ampat adalah seperti menukar lukisan mahakarya abadi dengan goresan tak bermakna, menukar emas dengan lumpur, menukar permata dengan kerikil, yang kesemua itu akan habis dalam sekejap. Solusi paling logis adalah menolak pertambangan secara total dan secara agresif mengembangkan ekonomi berkelanjutan yang bergantung pada kelestarian alam Indonesia.

___________

Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di laman resmi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dengan judul Save Raja Ampat

*) Penulis: Sampor Ali
Dosen Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *