R&D vs Kutukan
Negara kaya sumber daya alam (SDA) punya potensi besar untuk maju pesat. Namun, tanpa didukung oleh Research & Development (R&D) yang kuat, kekayaan SDA justru bisa menjadi “kutukan” yang menghambat kemajuan.
R&D adalah keharusan untuk memperoleh ‘nilai tambah” dalam proses hilirisasi, sehingga keuntungan besar yang diperoleh bisa didistribusikan sebagai ‘kemakmuran rakyat’. Hilirisasi yang sudah dimulai di Indonesia dewasa ini baru tahap awal, karena masih kejar target ekspor olahan (mungkin masih olahan ala kadarnya), dan masih bergantung pada investor asing dan juga teknologi asing. Masih jauh dari cita-cita!
R&D merupakan keharusan untuk pengelolaan SDA berkelanjutan, daya saing global, dan sebagai penggerak kualitas SDM guna mendorong penciptaan lapangan kerja berkualitas tinggi, peningkatan keahlian dan pengetahuan, serta pembentukan ekosistem inovasi (dan kewirausahaan).
Untuk bisa maju pesat, Indonesia harus menghindari kutukan sumber daya alam (recource curse) yaitu paradoks di mana negara kaya SDA justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat, korupsi, dan konflik. Laju pertumbuhan Indonesia yang hanya berkisar 5% janganlah dijadikan kebanggaan karena anatomi struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 3-3.5% dari konsumsi (baik konsumsi komoditi buatan sendiri atau impor).
Bisa dijadikan perbandingan, negara Norwegia meski kaya minyak dan gas, tetapi berinvestasi besar dalam R&D untuk pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, pengembangan energi terbarukan (hidroelektrik), dan diversifikasi ekonomi melalui dana kekayaan kedaulatan yang diinvestasikan di berbagai sektor global.
Kanada, dengan sumber daya alam yang melimpah, sangat aktif dalam R&D, khususnya di sektor energi, pertambangan, dan kehutanan, untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi dampak lingkungan, dan menciptakan produk bernilai tambah. R&D bukan pilihan, tetapi keharusan strategis!.
Indonesia: Perlu Transformasi Revolusioner
Dunia ke depan adalah dunia penuh persaingan teknologi, maka Indonesia harus mengambil langkah tidak saja strategis tetapi taktis melalui transformasi bidang sosial, ekonomi dan institusional yang ‘revolusioner’.
Ketiga bidang agenda transformasi sudah tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2045 (RPJPN), tetapi yang masih menjadi isu besar dan harus segera menjadi ‘mainstream political will’ adalah soal ‘taktis’nya.
Walaupun pendekatan dan paradigma komprehensif perlu (dan itu sudah ada dalam RPJPN), namun apakah cukup taktis menghadapi perkembangan dan persaingan global?
Taktik itu soal prioritas!. RPJPN tidak bisa dijadikan alasan untuk menggarap semua aspek secara bersamaan tetapi dalam skala kecil dan hanya permukaan. Mungkin salah mencermati, tetapi tidak terlihat mainstream prioritas mendorong R&D agar Indonesia bisa ‘melompat tinggi dan jauh’, bukan mengajak semua sektor ‘merangkak’. R&D memang ada tersebut dan terselip di beberapa nomenklatur program, tapi belum dijadikan strategi pemicu (trigger) untuk lompatan. Ini mungkin harus merubah paradigma pembangunan agak revolusioner. Sekali lagi, komprehensif perlu, tapi tapi tanpa strategi taktis, negara memang berjalan maju, namun sesungguhnya secara relatif mundur, karena negara-bangsa lain lari kencang.
Di mana R&D Kita?
Di bidang R&D berbasis inovasi dan teknologi jujur harus diakui bahwa Indonesia sudah ketinggalan puluhan tahun. BRIN baru aktif sekitar 6 tahun lalu, dan nampaknya belum menentukan mainstream inovasi-teknologi apa yang akan dijadikan unggulan dalam persaingan global. Apalagi dukungan anggaran R&D masih terselip dan tercecer di sana-sini. Belum ada integrasi dengan perusahaan sebagai platform penerapan inovasi-teknologi hasil R&D. Maaf belum bisa diraba ke mana arahnya.
Tapi di Indonesia riset banyak sekali dilakukan, hanya didominasi riset sekitar kebijakan publik. Tradisi akademik Indonesia sejak era kolonial Belanda berfokus pada ilmu sosial (hukum, administrasi) untuk mencetak birokrat, bukan insinyur. Data UNESCO, hanya 18% mahasiswa S1 mengambil bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Math), jauh di bawah Malaysia (35%) dan Vietnam (31%).
Juga insentif yang salah kaprah, dimana kenaikan pangkat dosen dan peneliti diukur dari jumlah publikasi jurnal, bukan paten atau produk. LIPI memiliki lebih 2.000 publikasi ilmiah per tahun, tetapi hanya 12 paten terdaftar (data 2022).
Hanya 8% perusahaan manufaktur Indonesia yang aktif berkolaborasi dengan universitas (BPS, 2023). Industri lebih memilih teknologi impor “sudah jadi” ketimbang mengembangkan riset lokal.
Antara riset dan pengembangan tidak nyambung, karena ekosistem Inovasi terfragmentasi. Peneliti di kampus, insinyur di BUMN, dan pengusaha bekerja dalam “menara gading” terpisah. Konon teknologi baterai lithium dari ITB tidak diadopsi PT. Aneka Tambang karena tidak ada mekanisme transfer pengetahuan.
Riset universitas cenderung teoretis, 70% penelitian di bidang teknik bersifat akademik, bukan aplikatif/terapan (Kemendikbudristek, 2021).
Kurang gregetnya R&D di Indonesia juga ditandai lemahnya “commercialization pipeline. Tidak ada lembaga khusus yang menjembatani lab ke pasar, seperti Fraunhofer Society di Jerman atau AIST di Jepang.
DI Jepang, Matsushita yang juga pioner R&D pasca PD-II mendorong semangat “Develop Individual Innovation, Unite Individual Effort”. Konsep pendiri Panasonic ini menekankan dua hal: Inovasi berbasis individu dan kolaborasi sinergis kedalam sistem produksi.
Membangun “Innovation Value Chain” ala Matsushita meliputi revolusi mental riset dengan mengubah parameter kinerja peneliti dari “jumlah jurnal” menjadi “dampak ekonomi” (paten, produk, start-up). Juga membentuk Industrial Research Consortium. Seperti PETRONAS menggabungkan 20 universitas dan 300 perusahaan untuk riset energi terbarukan.
Pemerintah harus berperan sebagai katalis, mungkin perlu membangun “National Innovation Fund” untuk membiayai riset high-risk-high-reward di bidang SDA. Sebagai pembanding DARPA di AS berhasil melahirkan internet dan GPS melalui pendanaan riset visioner.
RPJPN 2045 juga harus mendorong transformasi budaya dari “Publish or Perish” ke “Innovate or Stagnate“. Mungkin kampus perlu mewajibkan mahasiswa S2/S3 (terkait teknologi) membuat prototipe teknologi sebagai syarat kelulusan.
Di India, industri wajib mengalokasikan 5% laba untuk riset kolaboratif, sedangkan model Australia, pemerintah memberi insentif pajak 300% super deduction untuk perusahaan yang investasi di R&D lokal.
Indonesia perlu mengubah individual brilliance menjadi collective impact. Tanpa integrasi antara ide individu, kapasitas industri, dan kebijakan pemerintah, riset teknologi hanya akan menjadi arsip di perpustakaan kampus. Saatnya menjadikan “inovasi” sebagai ‘kata kerja’, bukan sekadar wacana.
Sudah Tertinggal Waktunya Melompat
Indonesia memang sudah jauh tertinggal dan terlambat start, bukan hanya setahun dua tahun, tetapi puluhan tahun. Di China, Chinese Academy of Sciences (CAS), lembaga penelitian nasional utama yang didirikan tahun 1949 mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk fisika, kimia, biologi, ilmu bumi, dan ilmu informasi.
Di Jepang, Riken, Institute of Physical and Chemical Research), lembaga penelitian ilmiah besar didirikan tahun 1917, memiliki sekitar 3.000 ilmuwan di tujuh kampus di seluruh Jepang dan melakukan penelitian di berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk fisika, kimia, biologi, genomika, ilmu kedokteran, dan komputasi kinerja tinggi.
Sejak awal hingga pertengahan abad XX perusahaan multinasional Jepang seperti Sony, Toyota, Panasonic, Mitsubishi Electric, dan Hitachi memiliki pusat R&D yang sangat maju.
Di Korea Selatan, KAIST (Korea Advanced Institute of Science & Technology) didirikan tahun 1971, berfokus pada sains dan teknologi. Ini adalah salah satu lembaga utama yang mendorong inovasi di negara tersebut.
Sejak 1970-1980, Samsung, LG, dan Hyundai Motor Company memiliki pusat R&D yang sangat besar dan berpengaruh. Lotte R&D Center didirikan pada bulan Juni 1983, menjadi lembaga penelitian terbaik untuk produk makanan di Korea Selatan.
DI Taiwan, ITRI (Industrial Technology Research Institute) didirikan tahun 1973, memainkan peran penting dalam mendorong inovasi industri di berbagai bidang termasuk teknologi informasi dan komunikasi, semikonduktor, dan energi hijau.
TSMC (Taiwan Semiconductor Manufacturing Company) adalah perusahaan swasta, mereka memiliki pusat R&D sangat besar dan menjadi pemimpin global dalam industri semikonduktor. Investasi R&D mereka sangat signifikan untuk terus mengembangkan teknologi chip. TSMC didirikan pada tahun 1987.
Berkaca dari negara-negara maju diatas, visi keunggulan kompetitif negara-bangsa sudah disiapkan sejak puluhan tahun melalui investasi dibidang R&D yang juga melibatkan perguruan tinggi dan perusahaan.
Saat ini Indonesia masih ‘di sini’, dan negara maju sudah ‘disana’ karena konsistensi terhadap visi misi jadi negara-bangsa unggul dengan mengandalkan R&D (kecuali teknologi dirgantara PT. DI dan teknologi pertahanan PT PINDAD patut diacungi jempol walau harus terus didukung total).
Tapi kalau melihat situasi perpolitikan dan peran partai politiki saat ini yang masih ‘letoy’ dalam melahirkan political will yang kuat untuk menjadi negara-bangsa maju, miris juga rasanya. Masak harus bikin partai Teknologi Indonesia? Tetapi walaupun terlambat lebih baik dimulai dari sekarang, menggenjot percepatan transformasi teknologi, dan penerapannya disemua aspek kehidupan. Masak masih suka bermain petak-umpet post-truth dalam mengelola negara ini? Melompat bro! Jangan ‘mbrangkang’! (istilah Jawa untuk merangkak terseok-seok, karena kebanyakan pansos, omon-omon dan sibuk cari kekayaan diri).