Nadirsyah Hosen Kritik Ketua PBNU soal Narasi ‘Maslahat Tambang’: Menyederhanakan Persoalan Serius

Nadirsyah Hosen Kritik Ketua PBNU soal Narasi ‘Maslahat Tambang’: Menyederhanakan Persoalan Serius

MAKLUMAT – Guru Besar Hukum Islam Monash University, Nadirsyah Hosen, mengkritik pernyataan Ketua PBNU Kiai Ulil Abshar Abdalla mengenai pertambangan. Nadir melalui akun X @na_dirs menilai pernyataan Ulil yang menyebut bahwa tambang adalah hal baik selama tidak bad mining justru malah menyederhanakan persoalan serius.

“Pernyataan Ketua PBNU, Kiai Ulil Abshar Abdalla, bahwa penambangan adalah hal baik karena membawa maslahat, dan yang buruk hanyalah bad mining, tampaknya menyederhanakan problematika yang kompleks,” tulisnya pada Sabtu (14/6/2025).

Seperti diketahui, saat ini publik sedang ramai mempersoalkan aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang diketahui merusak lingkungan.

Menurut Nadir, memang benar bahwa dalam maqasid al-shariah setiap aktivitas yang membawa kemaslahatan publik bisa dibenarkan. Namun, penambangan bukan semata perkara teknis antara ‘baik’ dan ‘buruk’. Ia menyebut bahwa aktivitas tambang hari ini kerap terkait ketimpangan struktural, kerusakan ekologis, serta pelanggaran hak masyarakat lokal.

“Selama hal-hal ini tidak diperbaiki, yang kita saksikan adalah bad mining. Dan selama hal-hal ini masih dibiarkan, maka tidak elok menormalisasi pertambangan dengan klaim normatif-abstrak,” lanjutnya.

Nadir menguraikan pandangannya secara sistematis dengan merujuk pada khazanah klasik Islam. Pertama, ia menyoroti konsep maslahat dalam pandangan al-Ghazali. Dalam Kitab al-Mustashfa, al-Ghazali menegaskan bahwa maslahat yang diakui (mu’tabarah) adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.

Baca Juga  Wakil Ketua MPR: Pertambangan yang Merusak dan Tidak Taat Aturan Harus Dihukum Berat

Ia menegaskan, jika tambang terbukti mencemari lingkungan, merampas tanah adat, dan menghancurkan ruang hidup masyarakat, maka hal itu tidak dapat disebut sebagai maslahat, melainkan kerusakan (mafsadah). “Tak semua yang menghasilkan uang dan devisa bisa otomatis disebut maslahat,” ujarnya.

Pandangan kedua yang dikedepankan Nadir adalah pentingnya keadilan ekologis sebagai bagian dari syariat. Ia mengutip peringatan Al-Qur’an dalam Surah al-A’raf ayat 56 yang berbunyi: “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”

Ia menegaskan bahwa kerusakan ekologis akibat tambang skala besar, baik legal maupun ilegal, adalah bentuk kerusakan lingkungan sistemik (fasad al-biah). Kerusakan ini, kata dia, adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah kekhalifahan manusia di muka bumi.

Lebih lanjut, ia menyentil klaim good mining yang justru kerap abai terhadap realitas di lapangan. Ia menyebut bahwa banyak praktik pertambangan resmi di Indonesia justru sarat pelanggaran etis, hukum, dan sosial.

“Bahkan perusahaan-perusahaan yang menyandang ‘izin resmi’ banyak yang melanggar AMDAL, meminggirkan masyarakat adat, dan membungkam protes rakyat. Kiai Ulil tidak bisa menutup mata atas praktek semacam ini,” tulis Nadir.

Ia lalu mengutip prinsip dari al-Izz ibn Abd al-Salam dalam Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang mengarah kepada kezaliman, keaniayaan, dan pelanggaran adalah hal yang diharamkan. Sementara yang mengarah kepada keadilan, keadilan sosial, dan kebaikan adalah sesuatu yang dituntut, baik secara wajib maupun sunnah.

Baca Juga  Komisi XII DPR Dukung Langkah Bahlil Hentikan Tambang Nikel Raja Ampat

Bagi Nadir, kemasan maslahat tidak bisa menjadi pembenaran atas kezaliman struktural. Maslahat yang menindas rakyat dan merusak lingkungan hanyalah tipu daya moral. Ia juga menyoal siapa sebenarnya yang menikmati maslahat dari industri tambang.

Jika hanya segelintir elite yang mendapat manfaat, sementara masyarakat kehilangan air bersih, tanah, dan udara sehat, maka itu bukan maslahat. “Dalam maqasid, maslahat harus berkelanjutan, adil, dan mencakup seluruh lapisan masyarakat,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa pernyataan semacam ‘tambang itu baik asal bukan bad mining’ berpotensi menjadi justifikasi moral yang berbahaya jika tidak disertai evaluasi kritis terhadap dampak dan praktiknya.

“Kemaslahatan bukan cuma soal manfaat finansial, melainkan harus diuji melalui prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kemanusiaan,” tutupnya.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *