MAKLUMAT — Setelah Aceh dan Sumatera Utara (Sumut), kini sengketa pulau kembali muncul ke permukaan, melibatkan Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung. Sebanyak 13 pulau kecil milik Trenggalek, yang dimasukkan dalam wilayah Tulungagung.
Pulau-pulau kecil tersebut antara lain Pulau Anakan, Pulau Anak Tamengan, Pulau Jewuwur, Pulau Boyolangu, Pulau Karangpegat, Pulau Solimo, Pulau Solimo Kulon, Pulau Solimo Lor, Pulau Solimo Tengah, Pulau Solimo Wetan, Pulau Sruwi, Pulau Tamengan, hingga Pulau Sruwicil.
Menanggapi hal itu, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Muhammad Mirdasy, meminta agar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) segera melakukan evaluasi terhadap batas-batas wilayah yang berpotensi sengketa, baik di provinsi maupun kabupaten/kota.
“Pemerintah utamanya Kementerian Dalam Negeri harus segera mengevaluasi dimana saja terdapat problem sengketa batas wilayah, baik propinsi maupun antar kabupaten/kota,” ujarnya kepada Maklumat.ID, Senin (23/6/2025).
Menurut Mirdasy, hal tersebut sangat penting, sebab dampaknya bakal memengaruhi banyak hal. Terutama, jika menyangkut batas wilayah perairan, maka salah satunya bakal berdampak pada nelayan.
“Jika menyangkut batas perairan laut, pasti dampaknya pada nelayan, Jawa Timur punya beberapa daerah yang menyangkut konflik nelayan baik di pesisir Utara maupun Selatan,” sebutnya.
Selain itu, ia juga menandaskan bahwa persoalan batas wilayah bukan hanya soal pembangunan ekonomi, tetapi juga aspek sosiologis, budaya, dan nilai sejarah.
“Konflik kepemilikan bukan saja soal kawasan ekonomi meski ini yang selalu mengemuka, namun lebih penting dari itu adalah setiap pulau dan masyarakatnya ada sejarah dan budaya yang melingkupinya, yang juga harus dihormati,” tandas Mirdasy.
Pemprov Jatim Jangan Lepas Tangan
Di sisi lain, Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur, Deni Wicaksono, meminta agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim tidak lepas tangas terkait sengketa 13 pulau yang melibatkan Trenggalek dan Tulungagung tersebut.
“Pemprov Jatim tidak boleh lepas tangan. Ini soal kredibilitas tata kelola wilayah, harus dikawal,” tandasnya, Ahad (22/6/2025).
Deni menyorot soal Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 Tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang menyatakan bahwa 13 pulau tersebut dimasukkan ke wilayah Tulungagung.
Padahal, kata dia, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2023 dan Perda Kabupaten Trenggalek Nomor 15 Tahun 2012, menyebut pulau-pulau kecil yang kini menjadi sengketa tersebut adalah wilayah administratif Trenggalek.
Deni meminta agar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) segera meluruskan dan menyelesaikan polemik sengketa 13 pulau tersebut, berdasarkan sejumlah tinjauan serta dasar data yang faktual.
“Kami meminta Kemendagri membuka ruang klarifikasi dan mendasarkan keputusan pada data faktual, bukan sekadar dokumen administratif,” tegas Deni.
Lebih lanjut, ia juga mengungkapkan bahwa pada 11 Desember 2024 lalu sempat digelar rapat di Gedung Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, yang secara sah menyepakati pulau-pulau kecil tersebut adalah bagian wilayah Kabupaten Trenggalek.
“Sudah ada Berita Acara Kesepakatan yang jelas dan resmi, menyatakan bahwa 13 pulau itu masuk Trenggalek. Tapi mengapa dalam Kepmendagri terbaru justru dipindahkan ke Tulungagung? Ada apa sebenarnya dengan pulau-pulau ini,?” ungkap Deni.
Senada, Wakil Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur, Agus Cahyono, meminta agar Pemprov Jatim tidak lepas tangan dan sesegera mungkin menyelesaikan persoalan sengketa batas wilayah tersebut.
Berbeda dengan sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) yang merupakan sengketa lintas provinsi, menurut Agus, konflik administratif antar-kabupaten/kota seharusnya menjadi ruang fasilitasi Pemprov.
“Kalau kasus Aceh dan Sumut itu kan lintas provinsi dan ada isu ekonomi besar seperti tambang, sampai harus turun Presiden. Tapi ini tidak. Pulau-pulau itu bahkan belum berkontribusi terhadap PAD Trenggalek maupun Tulungagung,” sebutnya.
Sebab itu, ia meminta agar Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa segera melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat, sehingga polemik sengketa 13 pulau tersebut tidak menjadi berkepanjangan, yang dikhawatirkan justru akan menghambat proses perencanaan tata ruang di masa depan.
“Kalau lambat ditangani, dampaknya bukan hanya pada peta wilayah, tapi juga bisa menghambat pembangunan dan investasi,” tandas Agus.
Sengkarut Regulasi 13 Pulau
Ditinjau dari regulasi yang ada, sengketa pulau tersebut tampaknya memang cukup pelik. Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setdaprov Jatim, Lilik Pudjiastuti, mengungkapkan bahwa ‘perebutan’ 13 pulau kecil antara Trenggalek dan Tulungagung itu telah terjadi sejak bertahun-tahun silam.
Pemkab Trenggalek diketahui terlebih dahulu menyatakan 13 pulau kecil tersebut ke dalam wilayah administratifnya melalui Perda Nomor 15 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Trenggalek Tahun 2012-2032.
Meski begitu, Pemkab Tulungagung dalam Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang RTRW Kabupaten Tulungagung Tahun 2023-2043, ternyata juga memasukkan ketigabelas pulau kecil itu ke dalam wilayah administratifnya.
“Kasus ini sudah lama, (dan memang) dari awal memang sudah ada dualisme, sudah double. Jadi, 13 pulau itu masuk ke Perda RTRW Trenggalek tahun 2012, tetapi juga tercantum dalam RTRW Tulungagung tahun 2023,” kata Lilik.
Tak hanya sampai di situ, sengketa kian rumit ketika pemerintah pusat melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022, menyatakan bahwa 13 pulau tersebut masuk ke wilayah Tulungagung. Sementara dalam Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2023, justru menyatakan wilayah tersebut sebagai bagian dari Trenggalek.
Terbaru, dalam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Keputusan yang sama yang juga memicu polemik dan sengketa terhadap empat pulau kecil antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto, mengaku belajar dari polemik sengketa pulau antara Aceh dan Sumut beberapa waktu lalu, sehingga Kemendagri bakal lebih berhati-hati daam menangani persoalan sengketa serupa.
“Ya, kemarin Pak Menteri langsung memimpin proses evaluasi soal sengketa 13 pulau di Trenggalek itu. Yang pasti belajar dari sengketa 4 pulau di Aceh, tentu kami hati-hati, bukan saja soal data geografis tapi historis,” ujar Bima kepada awak media, dalam konferensi pers di BPSDM Kemendagri, Jakarta Selatan, Sabtu (21/6/2025).
Bima menyebut, saat ini Kemendagri tengah melakukan penelusuran dan memeriksa kembali berbagai data dan dokumen historis terkait sengketa Trenggalek dan Tulungagung tersebut.