MAKLUMAT – Ketidakpastian ekonomi global semakin terasa sejak kebijakan proteksionis Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Namun, menurut ekonom Aviliani, Indonesia tak perlu terlalu resah. Efek tarif Trump, kata dia, justru bisa jadi momentum bagi Indonesia memperluas pasar ekspor di luar Amerika Serikat (AS).
“Trump itu suka bikin drama. Dia keluarkan kebijakan, tunggu respons. Kalau merugikan, dia menunda hingga 90 hari, kayak sekarang ini,” ujar Aviliani dalam diskusi ‘What’s Next: Trump, Trade and The Future of Indonesia’ yang digelar Jawa Pos-HSBC di Surabaya, Rabu (25/6/2025).
Ia menilai, kebijakan perdagangan Trump seringkali berubah-ubah dan tidak konsisten. Karena itu, Aviliani mengingatkan para pelaku usaha untuk tidak terlalu bergantung pada pasar AS. “Jangan percaya sepenuhnya dengan Trump. Parameternya adalah nilai tukar, saat ini USD melemah. Artinya, kepercayaan global sedang turun,” lanjutnya.
Wanita kelahiran Malang ini menyarankan agar pengusaha Indonesia mulai melirik pasar baru, terutama negara-negara berkembang yang selama ini belum tergarap dengan maksimal. Usulan ini tak lepas dari ekspor Indonesia yang masih fokus ke AS dan Eropa. Padahal pasar yang luar biasa ada di luar pasar konvensional. “Ini harus kita ambil,” tegasnya.
Efek Tarif Trump dan Dinamika Global
Aviliani menegaskan bahwa efek tarif Trump terhadap Indonesia relatif kecil. Indonesia masih mencatatkan surplus perdagangan dengan AS. Namun, ia mengingatkan agar Indonesia tetap waspada, terutama pada kemungkinan banjir barang dari China.
Apabila terdampak efek Trump, China berpotensi kehilangan pasar di AS. “China punya strategi melakukan dumping barang ke negara lain, termasuk Indonesia. Ini bahaya kalau tidak diantisipasi,” ia menambahkan.
Menurutnya, sektor manufaktur, khususnya di Jawa Timur, harus memperkuat daya saing agar tidak kalah dengan produk murah China. Ia juga menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dan pusat dalam mengatur arus barang masuk agar tidak merugikan produsen dalam negeri.
Aviliani juga mengingatkan, efek kebijakan pajak rendah yang diusung Trump dapat berdampak pada suku bunga global. “Kalau pajak rendah, utang AS pasti membengkak. Mereka akan keluarkan obligasi dengan bunga tinggi. Ini akan membuat suku bunga global sulit turun,” kata ekonom senior di Indef.
Pengusaha Harus Bergerak Cepat
Dalam situasi perdagangan global yang semakin mementingkan bilateral ketimbang multilateral, Aviliani menilai pengusaha Indonesia tidak perlu menunggu pemerintah. “Pengusaha harus berani cari pasar sendiri, jangan buru-buru minta pemerintah, buru-buru bertemu Trump bernegosiasi. Nggak semua kebijakan Trump berdampak besar ke Indonesia kok,” ia menjelaskan.
Ia mengingatkan, pasar Indonesia masih punya potensi besar, terutama untuk memperluas ekspor ke negara berkembang. “Kita selama ini belum memaksimalkan pasar negara-negara baru. Padahal, peluang itu besar sekali,” ujarnya.
Risiko Global dan Pentingnya Mitigasi
Lebih jauh, Aviliani mengingatkan bahwa krisis ekonomi tidak selalu akibat perang dagang. Krisis bisa terjadi kapan saja, bahkan lebih sering dari sebelumnya. “Dulu krisis sepuluh tahun sekali. Sekarang bisa terjadi sewaktu-waktu. Sejak 1998, sudah 13 kali kita mengalami krisis,” jelasnya.
Menurut Aviliani, pelaku usaha, terutama di sektor riil, masih belum banyak yang mempersiapkan mitigasi risiko. “Kalau perbankan sudah bagus, tapi sektor riil harus mulai memikirkan mitigasi risiko. Ini penting supaya usaha bisa bertahan,” ujar pengurus Kadin ini.
Ia juga menyoroti risiko besar dalam sepuluh tahun ke depan, yakni persoalan lingkungan. Dari sepuluh risiko terbesar dunia, lima di antaranya berkaitan dengan isu lingkungan. Sustainability menjadi isu penting guna memitigasi risiko bencana yang bisa berdampak pada kemiskinan bangsa.
Sejauh ini Trump terkesan mengabaikan isu lingkungan, tetapi Indonesia tidak boleh mengikuti langkah tersebut. “Trump maunya yang penting murah dan bisa hidupkan masyarakatnya. Tapi kita harus berpikir jauh ke depan,” ia memungkasi.