MAKLUMAT — Anggota Komisi VI DPR RI, Ahmad Labib, menyoroti potensi penyimpangan dalam pengelolaan koperasi yang tidak berpijak pada prinsip kolektif, terutama pada program strategis pemerintah yang tengah digencarkan, yakni Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kopkel) Merah Putih.
“Banyak koperasi yang secara struktur memang terlihat milik bersama, tapi praktiknya dikendalikan oleh pemilik modal individu di balik layar,” ujar Labib, dilansir dari Jaringan Media Afiliasi Daulat.co, Jumat (27/6/2025).
Labib mengingatkan bahwa koperasi seharusnya menjadi instrumen pemerataan ekonomi. Namun, dalam praktiknya, tak sedikit yang menjelma menjadi “kendaraan bisnis pribadi” dan menjauh dari semangat gotong royong.
“Kadang koperasi jadi rentenir baru. Anggotanya banyak secara administratif, tapi kendali penuh ada pada satu pihak yang menyuntikkan modal,” tambah politisi Partai Golkar itu.
Lebih lanjut, Labib menyebut model semacam ini sebagai bentuk oligarki terselubung yang bersembunyi di balik nama koperasi. Ia bahkan menyinggung pengalaman serupa dalam organisasi masyarakat yang membentuk badan usaha sendiri, namun justru mematikan usaha mikro warganya.
“Saya pernah menyaksikan, ketika badan usaha milik ormas berkembang, usaha para anggota justru mati. Semua diserap ke satu entitas besar. Ini harus jadi pelajaran,” tegasnya.
Jangan Hanya Fokus Kuantitas dan Legalitas
Labib mendorong agar pemerintah tidak hanya fokus pada sisi legalitas atau pencapaian kuantitas koperasi yang berdiri, melainkan lebih pada aspek substansial seperti akuntabilitas, transparansi, dan budaya bisnis kolektif.
“Kalau hanya dikejar cepat-cepat daftar dan punya badan hukum, tanpa menyiapkan SDM dan budaya bisnis kolektif, koperasi akan jadi museum baru. Cita-cita mulia tidak akan tercapai,” tandasnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya keterlibatan generasi muda, khususnya mahasiswa desa, dalam pengelolaan koperasi agar mampu bersaing di tengah dominasi sektor retail dan distribusi modern.
“Saat ini tantangannya bukan hanya legalitas. Kita harus siapkan SDM, budaya bisnis, dan semangat komunal agar koperasi betul-betul menjadi alat perjuangan ekonomi rakyat, bukan sekadar nama,” pungkas wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur X itu.
Labib mengingatkan, sekaligus menegaskan bahwa koperasi bukan sekadar struktur kelembagaan, melainkan alat perjuangan ekonomi yang harus dijaga dari infiltrasi kepentingan sempit.