MAKLUMAT — BPUPK merupakan badan bentukan Jepang yang bertugas untuk mempersiapkan segala kebutuhan negara merdeka. Hal ini sebagai bentuk memenuhi janji yang telah diberikan Pemerintah Jepang untuk kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada 7 September 1944. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso di depan sidang Parlemen Jepang.
Janji tersebut sebagai upaya Jepang untuk mendapatkan simpati dari rakyat Indonesia agar secara sukarela mau membantu Jepang untuk memenangkan peperangan. Atas janji tersebut, tanggal 29 April 1945 secara resmi dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) setelah diumumkan pertama kalinya oleh Kumikaci Harada.
Badan ini beranggotakan 60 orang yang terdiri dari 54 orang pribumi, 4 orang Golongan Cina, 1 orang Golongan Arab, dan 1 orang peranakan Belanda. Selain itu BPUPK juga memiliki keanggotaan istimewa dari orang Jepang berjumlah 8 orang. Menariknya dalam keanggotaan BPUPK ini tidak ada dari Golongan Komunis. Tentu hal ini bisa dipahami karena Jepang waktu itu menjadikan komunisme sebagai paham yang dilarang. Patut kita syukuri juga, lahirnya UUD 1945 dan Pancasila tidak ada campur tangan orang-orang komunis.
Golongan Nasionalis dan Islam dalam BPUPK
Dalam sidang BPUPK sangat dipengaruhi adanya sikap nasionalisme yang tumbuh dalam diri setiap anggotanya. Hal ini wajar karena kondisi Bumi Nusantara yang telah lama dihisap darahnya oleh kolonialisme selama berabad-abad lamanya. Sudah menjadi kesadaran kolektif untuk bersama-sama lepas dari jeratan kolonial yang menyebabkan kesengsaraan pada rakyat.
Dalam BPUPK terdapat 2 Golongan besar di dalamnya, yaitu Golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Dari Nasionalis ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi yang bercorak Nasionalis. Contohnya Boedi Oetomo yang dibentuk pada 20 Mei 1908. Organisasi ini menjadi cikal bakal lahirnya organisasi-organisasi nasional lainnya. Berikutnya ada Golongan Islam yang lahirnya dilatarbelakangi karena kekecewaan para tokoh muslim akibat tidak dinamisnya Boedi Oetomo yang kemudian mendirikan Sarekat Islam.
Meskipun Golongan nasionalis dan Golongan Islam memiliki perbedaan mendasar dalam pemikiran dan ideologi. Keduanya mampu bersatu dalam tujuan yang sama, yaitu memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang. Mereka tidak memaksakan ideologi masing-masing untuk dijadikan dasar negara, tetapi justru menunjukkan kerendahan hati dan kebesaran jiwa dengan berkompromi secara politik. Sikap ini menjadi warisan berharga (legacy) yang seharusnya diteladani oleh para tokoh bangsa saat ini, dalam menghadapi tantangan kebangsaan dan menjaga keutuhan negara.
Piagam Jakarta
Piagam Jakarta yang ditandatangani pada 22 Juni 1945 merupakan tonggak penting dalam sejarah perumusan dasar negara Indonesia. Dokumen ini merupakan hasil kompromi antara Golongan Islam dan nasionalis dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Sukarno menegaskan menegaskan bahwa Piagam Jakarta adalah hasil kompromi dan kesepakatan luhur antara berbagai golongan di Indonesia pada masa awal kemerdekaan, terutama antara golongan nasionalis dan golongan Islam.
Piagam ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945 sebagai bagian dari upaya merumuskan dasar negara sebelum proklamasi kemerdekaan. Sukarno menyadari betapa sulitnya proses perundingan tersebut, karena setiap pihak memiliki pandangan dan aspirasi yang berbeda terkait dasar negara. Namun, demi persatuan dan kemerdekaan Indonesia, mereka bersedia mengalah dan menemukan titik temu.
Meskipun Piagam Jakarta adalah dokumen monumental hasil kesepakatan luhur, pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945, dokumen tersebut tidak dibacakan, kemungkinan besar bukan semata-mata karena “ketinggalan”, tetapi karena perhitungan politis dan kehati-hatian dalam menjaga stabilitas dan kesatuan bangsa yang baru lahir.
Bung Karno saat mengumumkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, menegaskan bahwa Piagam Jakarta merupakan perwujudan semangat UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka hukum tersebut. Hakikat Piagam Jakarta mencerminkan tujuan pelaksanaan asas-asas agama dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan suatu bangsa tidak boleh hanya dinilai berdasarkan indikator-indikator pertumbuhan ekonomi dan capaian-capaian demokrasi prosedural.
Jalan Sunyi Hilangnya Tujuh Kata Piagam Jakarta
Walau Piagam Jakarta menjadi sebuah dokumen monumental hasil dari kesepakatan luhur para tokoh bangsa, namun patut disayangkan dari hasil kesepakatan luhur tersebut ada upaya ”pengkhianatan” dengan menghapus 7 kata dalam naskahnya. Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta—“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”—tidak berdiri sendiri, melainkan berdampak langsung pada beberapa pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945. Pertama, kata Mukaddimah diganti dengan Pembukaan. Kedua, Pasal 6 ayat 1 Presiden ialah orang Indonesia asli dan “beragama Islam”. Kata “beragama Islam”nya dicoret. Ketiga, Pasal 29 ayat 1 diubah menjadi Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai hasil dari kesepakatan nasional yang diperoleh dengan usaha keras melalui pembicaraan yang intens dipengaruhi oleh proposal dari seorang asing, seorang perwira Kaigun yang namanya saja tidak diingat oleh Hatta. Hatta mengungkapkan bahwa ia bertemu dengan seorang perwira dari angkatan laut Jepang.
Dia mengatakan, perwira itu membawa pesan yang berisi “ancaman” dari pemimpin Kristen di wilayah timur Indonesia. Mereka menyatakan bahwa jika tujuh kata dalam Sila Pertama pembukaan (Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya) tidak dihilangkan, mereka akan memisahkan diri dari Indonesia yang merdeka.
Hatta dan Sukarno, yang termasuk dalam kelompok Nasionalis, berusaha meyakinkan anggota PPKI dari kalangan Muslim untuk setuju menghapus tujuh kata itu. Hanya Ki Bagus Hadikusumo yang tetap menolak. Menurut Ki Bagus, tindakan tersebut akan melanggar kesepakatan terhormat yang telah mereka buat Bersama dengan sebutan gentlemen agreement (Kesepakatan diantara para pria terhormat). Sukarno dan Hatta kemudian meminta Tengku Moh. Hassan dari Aceh dan Kasman Singodimedjo dari Muhammadiyah untuk membujuk Ki Bagus.
Ki Bagus setuju dengan perubahan asalkan kalimat yang baru berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kasman yang berhasil meyakinkan, terutama dengan janji bahwa syariat Islam akan dimasukkan kembali ke dalam konstitusi setelah MPR dibentuk enam bulan kemudian. Namun dalam kenyataannya, Sukarno ingkar dengan janjinya. Para pemimpin Islam tertipu oleh kata-kata manis Sukarno.
Kasman Singodimedjo merasa sangat bersalah tentang perannya dalam menghapus tujuh kata itu. Ternyata, keputusan tersebut mengakibatkan nasib yang sangat menyedihkan bagi umat Islam di Indonesia yang merupakan mayoritas, tetapi tidak diizinkan untuk menjalankan syariat atau membuat undang-undang berdasarkan syariat di negara mereka sendiri. Dikatakan bahwa Kasman Singodimedjo sering menangis saat mengingat perannya dalam membujuk Ki Bagus Hadikusumo.
Piagam Jakarta telah disetujui dan resmi pada 22 Juni 1945, dan AA Maramis dari pihak Kristen juga sudah memberikan tanda tangan. Namun, penghilangan tujuh kata pada 18 Agustus 1945 tidak melibatkan serta tidak mendapatkan persetujuan dari empat perwakilan Islam dalam Panitia Sembilan yang menandatangani Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Mereka adalah KH. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikoesno Tjokrosoejoso.
Usaha untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta juga dilakukan melalui cara politik. Contohnya, dalam sidang-sidang konstituante di Bandung antara 1956 dan 1959, beberapa partai yang berlandaskan Islam berusaha untuk menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Terkait frasa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, hal ini menekankan bahwa agama dan negara tidak terpisah. Ini adalah ciri unik dari demokrasi di Indonesia, yang berbeda dari negara-negara di Eropa dan Amerika.***