Fenomena Tawuran Remaja: Bukan Sekadar Kekerasan, Tapi Cermin Kegagalan Sistem

Fenomena Tawuran Remaja: Bukan Sekadar Kekerasan, Tapi Cermin Kegagalan Sistem

MAKLUMAT — Yogyakarta, kota yang dijuluki sebagai kota pelajar, kini semakin sering diwarnai aksi tawuran remaja yang brutal. Ironi memang, di tempat yang seharusnya menjadi pusat peradaban intelektual, justru menjadi panggung kekerasan anak muda. Data kepolisian mencatat peningkatan kasus tawuran dalam tiga tahun terakhir, dengan korban jiwa yang tidak sedikit. Namun, respons pemerintah dan masyarakat masih bersifat reaktif—sekadar menangkap pelaku atau memberi imbauan moral. Padahal, akar masalahnya jauh lebih dalam: ini adalah buah dari kegagalan sistem pendidikan, ketimpangan sosial, dan absennya ruang ekspresi positif bagi remaja.

Nashrul Mu'minin. (Foto: Dok. IST)
Nashrul Mu’minin. (Foto: Dok. IST)

Pertama, tawuran bukan sekadar masalah kenakalan remaja, melainkan gejala struktural. Sistem pendidikan di Yogyakarta justru berkontribusi menciptakan tekanan psikologis pada siswa. Kurikulum padat, kompetisi tidak sehat antarsekolah, dan minimnya pendekatan humanis dalam pengajaran membuat remaja frustasi. Sekolah-sekolah favorit yang seharusnya menjadi tempat pembangunan karakter, justru menjadi pabrik penghasil stres. Ketika tekanan ini tidak terkelola, kekerasan menjadi pelampiasan yang paling mudah.

Kedua, tawuran adalah cermin ketimpangan sosial yang semakin menganga. Yogyakarta, dengan glamornya pariwisata dan pendidikan, menyimpan kesenjangan yang tajam. Remaja dari keluarga miskin perkotaan seringkali merasa teralienasi di tengah gemerlap kemewahan kafe dan kampus. Mereka mencari identitas melalui kelompok geng, dan tawuran menjadi cara klaim kekuasaan di ruang yang tidak memberi mereka tempat. Pemerintah daerah sibuk membangun infrastruktur fisik, tetapi lupa membangun infrastruktur sosial yang inklusif.

Baca Juga  Pilihan Politik: Menaruh Telur di Banyak Keranjang

Ketiga, solusi yang ditawarkan selama ini bersifat kosmetik. Razia dan hukuman tidak akan menyelesaikan masalah jika akarnya tidak disentuh. Remaja butuh ruang kreatif, program pelatihan keterampilan nonformal, serta pendampingan psikologis yang accessible. Pemda DIY harus berani berinovasi dengan melibatkan komunitas lokal, seniman, dan aktivis pemuda untuk menciptakan program pemberdayaan yang relevan. Kekerasan tidak bisa dihentikan dengan kekerasan, melainkan dengan memberikan alternatif yang lebih menarik.

Tawuran remaja di Yogyakarta bukan sekadar aksi brutal, melainkan pemberontakan terselubung terhadap sistem yang gagal memenuhi hak dasar mereka. Di balik julukan ‘kota pelajar’, remaja Yogya terjepit antara beban akademis yang menghimpit dan minimnya ruang berekspresi. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat penanaman nilai humanis, justru berubah menjadi pabrik stres berkedok prestasi. Sementara itu, pemerintah daerah lebih bangga membangun mall dan jalur transit daripada menciptakan ruang dialog antara pemuda dan kebijakan publik. Remaja yang teralienasi—terutama dari kalangan marginal—lalu mencari “kebanggaan” melalui geng dan kekerasan, karena negara absen memberi mereka identitas yang bermartabat.

Solusi yang digaungkan selama ini adalah ilusi keamanan semu. Razia dan hukuman hanya mengubur masalah sementara, tanpa menyentuh akarnya: ketimpangan akses pendidikan, kemiskinan struktural, dan kegagalan negara dalam memberikan ruang partisipasi pemuda. Alih-alih represif, Pemda DIY harus membuka ruang kreatif yang dikelola oleh komunitas akar rumput, mendorong pendidikan alternatif berbasis keterampilan, dan melibatkan psikolog sosial dalam kebijakan remaja. Jika tidak, tawuran akan tetap menjadi bahasa protes yang paling keras—dan Yogya tak lagi dikenal sebagai kota pelajar, melainkan kota yang melahirkan generasi frustasi.

Baca Juga  Meningkatkan Tata Kelola Guru: Pentingnya Dukungan Struktural dan Politik

Darurat tawuran di Yogya adalah cermin kegagalan negara dalam memanusiakan remaja. Tanpa perubahan sistemik, kekerasan hanyalah awal dari krisis sosial yang lebih besar.

*) Penulis: Nashrul Mu'minin
Content Writer Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *