Dari Sekolah ke Palestina: Antara Gelaja Egosentris Lembaga Dan Menghidupkan Visi Peradaban

Dari Sekolah ke Palestina: Antara Gelaja Egosentris Lembaga Dan Menghidupkan Visi Peradaban

MAKLUMAT — Malam itu, SM Tower menjadi sebuah tempat pilihan atas sebuah diskusi yang semula saya kira akan berjalan seperti biasa: tentang pengelolaan sekolah, service excellent, dan strategi kemajuan Amal Usaha Muhammadiyah. Saya hadir sebagai bagian dari Majelis Tarjih dan Tajdid, memenuhi panggilan Ustadz Fatin Hamam selaku Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah.

Tak ada ekspektasi berlebihan, kecuali menyimak, mencatat, dan membawa pulang satu dua hal baru untuk diterapkan. Namun siapa sangka, malam itu berubah menjadi titik balik dalam cara saya memahami arah perjuangan pendidikan Islam.

Pak Ghufron Mustaqim, tokoh IT yang akrab dengan startup Evermos dan kini menjadi bagian dari Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU), tampil bukan sebagai teknokrat biasa. Di saat hadirin menanti paparan teknis tentang bagaimana mengelola sekolah unggul dengan pelayanan prima, beliau justru membuka layar dengan slide Masjidil Aqsa. Bukan sekadar gambar, tapi potongan sejarah. Bukan sekadar pembuka, melainkan pintu menuju visi yang lebih tinggi—tentang barokah, peradaban, dan tanggung jawab kolektif umat Islam atas Palestina.

Saya sempat tercengang. Ini forum pendidikan, mengapa kita bicara Yerusalem/Al Quds? Mengapa Mataram Islam disebut-sebut? Mengapa tiba-tiba Profesor Abdul Fattah Al-Awaisi muncul dalam kutipan? Namun seiring penjelasan Pak Ghufron mengalir, saya mulai melihat jalinannya: bahwa service excellent bukanlah sekadar keramahan resepsionis atau kecanggihan sistem absensi, tapi kesadaran mendalam bahwa sekolah adalah medan jihad peradaban.

Baca Juga  Catatan Akhir Tahun 2024 LHKP PDM Lamongan; KPUD Mesti Berbenah, Masih Jauh Dari Ideal

Ia membangun argumen bahwa pendidikan Muhammadiyah—yang disebut-sebut sebagai organisasi Islam keempat terkaya di dunia—punya potensi luar biasa untuk membebaskan Palestina. Ya, membebaskan. Bukan sekadar menyumbang. Tapi merancang, mendirikan, dan mengelola amal usaha di tanah yang sedang dijajah itu.

Sontak ruangan jadi senyap. Saya memperhatikan, di benak banyak guru dan kepala sekolah mungkin muncul pertanyaan, “Kita butuh panduan teknis, bukan mimpi besar.” Tapi saya justru mulai merasa inilah arah yang selama ini kita lupakan.

Bahwa pendidikan tidak semestinya berhenti pada kompetisi antar sekolah, branding sosial media, atau piala lomba berbagai cabang keilmuan ataupun olah raga. Bahwa ada sesuatu yang lebih besar, lebih mendesak, dan lebih bermakna: mendidik untuk peradaban. Mendidik untuk kemerdekaan. Mendidik untuk Palestina.

Pak Ghufron mengisahkan, pascagenosida 2023 di Gaza, ia mengubah arah hidupnya. Urusan bisnis ia delegasikan. Fokusnya kini satu: membebaskan Palestina. Tidak dengan senjata, tapi dengan amal usaha. Dengan sekolah. Dengan rumah sakit. Dengan AUM lainnya. Saya terdiam. Di tengah kegaduhan dunia, ada seseorang yang masih menyimpan nyala cita-cita itu dalam hatinya.

Beliau tidak menafikan pentingnya service excellent. Tapi ia memberi makna baru padanya. Pelayanan terbaik bukan sekadar bagi orang tua murid, tapi bagi umat ini secara keseluruhan. Visi peradaban kita upayakan tertanam dalam sistem pendidikan kita. Dan Palestina adalah simbol dari krisis peradaban itu. Maka ketika kita mendidik, kita tidak sedang memoles citra lembaga, tapi menyiapkan generasi yang kelak bisa berdiri di tanah suci itu sebagai pendidik, penggerak, dan penolong.

Baca Juga  Resepsi Milad ke-112 Muhammadiyah, Wamendikdasmen Fajar Riza Komitmen Hadirkan Pendidikan Bermutu

Sayangnya, sebagian kita masih terjebak dalam ego lembaga. Ingin unggul sendiri. Ingin maju sendiri. Ingin hebat sendiri. Akhirnya, yang lahir bukan kolaborasi, tapi kompetisi berbumbu friksi. Sekolah-sekolah yang secara struktural satu keluarga, secara kultural satu garis juang, justru saling terjebak dalam rutinitas berlomba menampilkan diri unjuk boleh kelebihan, paling keren, paling modern. Ini bukan lagi service excellent. Ini service egosentris.

Maka narasi Pak Ghufron perlu didengar ulang. Bukan untuk dipuji, tapi untuk direnungi. Apakah benar orientasi sekolah-sekolah kita hari ini masih berada di rel peradaban? Atau justru melaju kencang menuju jurang individualisme lembaga? Visi yang beliau bawa bukan visi awang-awang. Ia berpijak pada realitas kekuatan umat dan pengalaman sejarah.

Tapi juga menatap jauh ke cakrawala masa depan umat Islam: bahwa barokah (baroknaa haulahu) di Palestina tak akan tergapai jika kita tak memerdekakannya. Dan kemerdekaan itu, seperti kemerdekaan Indonesia dulu, tak lahir dari senjata semata, tapi dari semangat kolektif membangun basis kekuatan: pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.

Saya menulis ini bukan sebagai catatan seminar, tapi sebagai ajakan. Agar kita—para pendidik, kepala sekolah, aktivis Muhammadiyah—kembali menyatukan langkah. Kita tak sedang berlomba membuat brosur terbaik, SPMB terbanyak tapi sedang mempersiapkan generasi pembebas. Kita tak sedang mengincar rangking nilai atau viralitas TikTok sekolah, tapi sedang menanamkan semangat jihad peradaban. Jika Palestina adalah titik awal dan akhir perjuangan umat ini, maka sekolah kita adalah tempat memulainya.

Baca Juga  Putusan MK Usai, Mau Apa Lagi?

Mari pikirkan kembali hal-hal yang sekiranya berpotensi memberikan gejala egosentris lembaga. Mari naikkan level orientasi kita. Jadikan setiap ruang kelas sebagai ruang pembebasan. Jadikan setiap apel pagi sebagai penguatan ruh jihad. Jadikan setiap silabus sebagai jalan menuju kemerdekaan Palestina. Visi ini besar, tapi bukan berarti tak mungkin. Kita hanya perlu mulai hari ini.***

 

 

 

 

*) Penulis: Alvin Qodri Lazuardy
Pegiat literasi asal Tegal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *