Angka Pernikahan Anjlok di Indonesia! Apa yang Salah dengan Generasi Z?

Angka Pernikahan Anjlok di Indonesia! Apa yang Salah dengan Generasi Z?

MAKLUMATAngka pernikahan di Indonesia terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pernikahan pada 2020 mencapai 1.780.346 pasangan. Namun, angka itu turun drastis menjadi 1.478.302 pada 2024.

Ironisnya, penurunan ini terjadi saat angka perceraian tetap tinggi. Setiap tahun, sekitar 400 ribu pasangan memilih berpisah. Fenomena ini menunjukkan pergeseran sikap terhadap pernikahan, terutama di kalangan Generasi Z.

Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP Aisyiyah, Adib Sofia, mengungkap penyebab tren ini dalam acara Gerakan Subuh Mengaji, Jumat (4/7). Ia menyebut Generasi Z hidup dalam tekanan kompetisi global yang ketat. Mereka lebih fokus mengejar pendidikan, karier, dan pencapaian pribadi.

“Pernikahan bukan lagi tujuan utama. Mereka lebih memilih mapan secara finansial terlebih dulu,” ujar Adib seperti dilansir laman Muhammadiyah.

Ia menyoroti peran media sosial yang mendorong gaya hidup serba pamer. Banyak anak muda merasa malu jika belum punya rumah, mobil, atau pekerjaan mapan saat menikah. “Semua harus di-upload. Jadi, kecukupan finansial jadi syarat mutlak,” katanya.

Bukan hanya itu, pemberitaan seputar perceraian selebritas juga ikut memengaruhi pola pikir anak muda. Menurut Adib, media terlalu sering menyoroti kegagalan rumah tangga publik figur. “Ini menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran untuk membina keluarga,” jelasnya.

Gaya hidup individualistik, ketidakstabilan ekonomi, serta tingginya biaya hidup juga membuat pernikahan terasa berat. Generasi Z cenderung menunda bahkan menghindari pernikahan. Mereka memiliki kriteria pasangan yang lebih spesifik dan tak mudah dipenuhi.

Baca Juga  Peringati Hari Ibu, Khofifah: Kasihnya Tidak Pernah Mengenal Batas

Adib menilai narasi publik tentang pernikahan kini dipenuhi berita negatif. “Media jarang menampilkan sisi positif. Prinsipnya, bad news is good news,” sindirnya.

Padahal, menurutnya, pernikahan merupakan perjanjian kokoh yang membawa ketenangan, cinta, dan kasih sayang. “Ini penyempurna agama dan ciri umat terbaik,” tegasnya.

Nilai-nilai Positif Berkeluarga

Ia mengajak masyarakat, terutama media, untuk mengangkat kembali nilai-nilai positif dalam berkeluarga. Adib juga menekankan peran penting orang tua dalam memberi teladan dan membentuk pandangan anak tentang keluarga.

“Orang tua harus hadir sejak awal. Mulai dari memberi nama, mencukupi kebutuhan dasar, hingga membimbing anak ke jenjang pernikahan,” ucapnya.

Keluarga, lanjut dia, memiliki banyak fungsi, mulai dari edukasi, sosialisasi, proteksi, hingga rekreasi biologis. Ia mengingatkan, Tuhan sudah menjamin rezeki setiap makhluk dan tidak memberi cobaan di luar kemampuan manusia.

“Kita diciptakan dengan akal untuk bertahan dan beradaptasi,” tuturnya.

Adib berharap narasi positif soal pernikahan bisa menjadi arus utama. Ia menegaskan, pernikahan bukan hanya tentang beban, tapi juga tentang kebahagiaan, keberkahan, dan makna hidup.

“Kalau semua pihak bersinergi, kita bisa mengembalikan kepercayaan generasi muda terhadap pernikahan,” pungkasnya.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *