MUI Blitar Haramkan Sound Horeg, Akademisi UM Surabaya: Jangan Jadi Pemisah

MUI Blitar Haramkan Sound Horeg, Akademisi UM Surabaya: Jangan Jadi Pemisah

MAKLUMAT – Fatwa haram terhadap penggunaan sound horeg yang menyerupai suasana diskotek jalanan menuai pro dan kontra. Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Blitar, Selasa (8/7/2025), menyatakan aktivitas semacam itu haram karena disertai tarian erotis, minuman keras, dan pencahayaan ala klub malam, sejumlah kalangan akademik menyuarakan keprihatinan atas pendekatan yang dianggap terlalu hitam-putih.

Salah satunya datang dari Akademisi Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, M. Febriyanto Firman Wijaya. Menurut pria yang akrab disapa Riyan itu, pelarangan sound horeg seharusnya dikaji secara lebih menyeluruh, tidak hanya dari sisi normatif keagamaan dan kebisingan, tetapi juga dari nilai sosial dan budaya yang melekat pada masyarakat.

Sound horeg bukan semata soal kebisingan, tapi juga bagian dari ekspresi budaya dan seni. Pelarangan tanpa mempertimbangkan dimensi ini bisa jadi tidak adil,” ungkapnya dalam pernyataan resmi UM Surabaya, Ahad (6/7).

Ia menegaskan, dalam prinsip dasar hukum Islam, segala sesuatu pada dasarnya boleh (mubah), kecuali ada dalil kuat yang secara eksplisit mengharamkannya. “Penting untuk bertanya: apakah ada dalil syar’i yang benar-benar kuat untuk mengharamkan sound horeg dalam konteks hiburan rakyat?” tandasnya.

MUI Blitar menyatakan bahwa fenomena sound horeg yang belakangan marak digunakan saat hajatan atau pesta jalanan dinilai merusak nilai moral dan menimbulkan keresahan sosial. Selain menampilkan musik keras hingga dini hari, acara ini kerap disertai tarian tak senonoh dan konsumsi alkohol secara terbuka.

Baca Juga  Kemenag Jadwalkan Sidang Isbat 29 Maret, Tentukan Idulfitri 1 Syawal 1446 H

Fatwa Haram

Jamil Mashadi, Humas MUI Kabupaten Blitar dikutip dari Berita Jatim, menyebut aktivitas sound horeg bukan sekadar membawa mudharat, tetapi juga melanggar larangan agama. Ia mencontohkan adanya percampuran antara laki-laki dan perempuan, gerakan erotis, hingga aksi sawer yang mengundang penonton ikut menari.

Namun bagi Riyan, pendekatan yang kaku dan ekstrem semacam itu bisa berdampak buruk pada relasi sosial. Ia khawatir, fatwa ini justru menjadi alat pemisah antara nilai keagamaan dan budaya masyarakat yang selama ini hidup berdampingan.

“Kita butuh pendekatan yang lebih kontekstual dan humanis. Jangan sampai fatwa malah menjadi alat pemisah,” ujarnya. Ia mendorong adanya dialog terbuka antara pesantren, MUI, dan komunitas masyarakat agar tercipta solusi yang adil dan tidak menimbulkan kegaduhan sosial.

*) Penulis: M Habib Muzaki/Edi Aufklarung

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *