Efek Tarif Trump: Ancaman Global Berpotensi Jadi Tiket Emas Jatim

Efek Tarif Trump: Ancaman Global Berpotensi Jadi Tiket Emas Jatim

MAKLUMAT – Tarif impor sebesar 32 persen yang diberlakukan pemerintahan Donald Trump terhadap produk-produk dari Asia tampak seperti badai ekonomi. Kebijakan proteksionis ini telah menebar dampak luas, memukul sektor manufaktur lintas negara.

Namun di balik tekanan itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, justru melihat celah: peluang langka yang tak datang dua kali.

Ia menyebut kondisi ini sebagai paradoks strategis. Di satu sisi, tarif tersebut menjadi mimpi buruk bagi industri ekspor Indonesia, terutama tekstil, alas kaki, elektronik, dan furniture.

Sektor-sektor inilah yang menopang sebagian besar aktivitas manufaktur di Jawa Timur. Tapi di sisi lain, efek tarif Trump justru menempatkan Indonesia di posisi lebih kompetitif dibandingkan para pesaing regionalnya.

Kebijakan ini menciptakan riak sistemik dalam ekonomi nasional. Bank Indonesia memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) bisa terkontraksi hingga 0,5 persen. Sementara rupiah berpotensi melemah ke angka Rp17.217 per dolar AS.

Dilematis Industri Jawa Timur

Data ekspor menunjukkan betapa bergantungnya Indonesia pada pasar Amerika Serikat: 61,4 persen ekspor pakaian dan 33,8 persen ekspor alas kaki.

Jawa Timur tak bisa lepas dari pusaran ini. Dengan posisinya sebagai pusat manufaktur terbesar kedua setelah Jawa Barat, provinsi ini menanggung beban besar. Ribuan pabrik tekstil di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik; klaster sepatu Mojokerto; serta industri furnitur Pasuruan dan Malang, kini berada dalam posisi rentan. Ancaman PHK massal mengintai, dan efek domino-nya bisa menghantam UMKM hingga sektor keuangan daerah.

Baca Juga  Hadapi Tarif Dagang AS, Menpar Tekankan Tiga Strategi Ini

Namun ada satu hal yang membedakan Indonesia dari negara-negara tetangga: tingkat tarif. Jika Indonesia dikenakan tarif 32 persen, Vietnam harus menghadapi tarif 46 persen, Bangladesh 37 persen, Thailand 36 persen, dan Kamboja 49 persen.

Selisih ini, menurut Adik, menciptakan ruang manuver baru. Dalam perang dagang yang brutal ini, Indonesia, secara tak terduga, muncul sebagai pemasok yang lebih murah di mata pelaku bisnis Amerika.

Potensi Naikkan Nilai Ekspor

“Selisih tarif 14 persen dari Vietnam itu besar sekali dalam skema perdagangan global. Itu bisa menjadi alasan kuat bagi buyer AS untuk memindahkan pesanan mereka ke Indonesia,” kata Adik dalam surat resminya, Selasa (8/7/2025).

Dengan kata lain, efek tarif Trump bukan soal kehilangan, tetapi juga soal pergeseran alur perdagangan dunia. Ketika Vietnam dan Thailand menjadi lebih mahal oleh kebijakan Trump, Indonesia muncul sebagai alternatif paling rasional. Ini adalah anomali yang bisa menjadi katalis ekspor baru, jika mampu memanfaatkan strategi dengan tepat.

Banyak pihak mengganggap Jawa Timur yang paling siap menyambut peluang ini. Infrastruktur pelabuhan internasional seperti Tanjung Perak dan Gresik sudah tersedia dan kapasitas produksi industri juga memadai. Termasuk struktur biaya produksi di provinsi ini masih lebih efisien dari pesaing non-ASEAN, Korea Selatan, misalnya. Satu lagi: kecepatan eksekusi kebijakan.

“Kalau cepat tanggap, ekspor Jawa Timur bisa naik signifikan. Pergeseran pasar dari Vietnam bisa memberi tambahan nilai ekspor hingga USD3 miliar. Dari Bangladesh, potensi tambahannya USD1,2 miliar. Dari Thailand, sekitar USD800 juta,” jelas Adik.

Baca Juga  Kemiskinan dan PHK Jadi Penyebab Anak Putus Sekolah di Jawa Timur

Penggerak Industri Tekstil Global

Kalkulasi optimistis ini membuka skenario baru: Indonesia naik dari eksportir tekstil kelima menjadi ketiga terbesar di pasar Amerika. Dan di balik lonjakan itu, Jawa Timur bisa menjadi motor utama penggeraknya.

Namun bukan berarti tantangan selesai. Malaysia, misalnya, hanya kena tarif 24 persen. Negara itu bisa menjadi pesaing serius, terutama di sektor elektronik. Jika Indonesia lambat bertindak, momentum ini bisa hilang, digondol negara lain yang lebih gesit.

Untuk itu, Kadin Jawa Timur menekankan tiga kunci: kecepatan dalam pelaksanaan kebijakan industri, peningkatan kualitas dan efisiensi produk, serta kemampuan membaca arah perubahan pasar global. “Ini bukan waktu untuk ragu atau lambat,” tegas Adik.

Efek tarif Trump adalah bukti bahwa geopolitik bisa menjadi pemantik disrupsi sekaligus peluang. Indonesia tak bisa hanya menjadi korban dari kebijakan negara besar. Di tengah badai tarif global, ada kemungkinan baru untuk reposisi: menjadikan Jawa Timur sebagai episentrum manufaktur baru di Asia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *